Pasca tebitnya
Surat Edaran Nomor. 721/DPB/PB.510.S4/II/2016 tanggal 1 Februari 2016 tentang
Kapal Pengangkut Ikan Hasil Ikan Pembudidayaan Berbendera Asing (SIKPI-A), maka
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya tidak lagi memberikan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan
(SIKPI) Hidup Hasil Pembudidayaan berbendera asing bagi pemohon
baru maupun perpanjangan. Tujuan dari penghentian penerbitan izin ini adalah
agar bisnis atau usaha budidaya ikan hidup bisa dinikmati oleh warga Indonesia
sendiri (tidak lagi lewat broker). Dengan terbitnya surat edaran
ini diharapkan juga dapat mengevaluasi apakah kapal-kapal lokal sudah bisa
bersaing dan melakukan ekspor secara mandiri di era masyarakat ekonomi asia(MEA) ini.
Di Kabupaten Langkat surat edaran ini
ternyata berdampak langsung kepada pelaku usaha budidaya ikan di keramba
(khususnya pembudidaya ikan kerapu) yang selama ini menjual ikan hasi budidaya
mereka pada kapal berbendera asing. Saat ini terdapat sekitar 113 pelaku usaha
budidaya ikan kerapu dalam keramba di Kabupaten Langkat dengan estimasi stok
panen sekitar 100 ton. Saat ini pelaku usaha budidaya ikan dalam keramba di
bawah binaan penyuluh perikanan akan terancam mengalami kerugian besar memasuki
masa panen.
Selama ini ikan
hasil budidaya dalam keramba dijual kepada kepal berbendera asing (Hongkong).
Namun paca terbitnya surat edaran tersebut membuat kapal asing yang selama ni
membeli ikan hasil pembudidayaan dari Kab.Langkat tidak dapat lagi masuk ke
perairan Kab.Langkat. Hal ini membuat para pembudidaya kebingunan hendak
menjual kemana ikan hasil budidaya mereka dengan harapan harga masih seperti
sebelumnya. Beberapa dari pembudidaya kemudian menjual ikan hasil pembudidayaan
mereka ke Belawan-Medan dengan selisih harga yang relatif jauh. Fakta selama
ini, ikan hasil pembudidayaan dari Kab.Langkat (ikan kerapu) mahal karena masih
hidup di negara tujuan ekspor (hongkong), jika ikan mati maka hampir tidak ada
harga kalau dikirim ke luar negeri.
Mengutip data Badan Pusat Statistik,
ekspor perikanan budidaya selama empat bulan pertama turun 14,4% dari periode
sama tahun lalu menjadi 57.244,2 ton selama empat bulan pertama. Penurunan
volume itu otomatis diikuti dengan merosotnya nilai ekspor hingga 31,9% menjadi
US$50,8 juta. Pengapalan rumput laut dan ganggang lainnya turun 14,4% menjadi
53.672,5 ton atau senilai US$33,6 juta. Sementara itu, ekspor ikan hidup hasil
budidaya merosot 32% menjadi 2.757 ton atau senilai US$12,6 juta. Adapun
pengapalan mutiara hasil budidaya jatuh 91,7% menjadi 0,1 ton atau senilai
US$976.000. Sebaliknya, ekspor udang hasil budidaya terbang 464% menjadi 733,8
ton atau senilai US$3,5 juta. Pada saat yang sama, pengapalan ikan segar/dingin
hasil budidaya melesat tajam 367,6% menjadi 80,9 ton atau senilai US$145.200.Pemerintah
pada Maret menghentikan penerbitan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)
Hidup Hasil Pembudidayaan berbendera asing bagi permohonan baru maupun
perpanjangan. Keputusan tersebut dengan Surat Edaran (SE) Dirjen Perikanan
Budidaya No 721/DPB/PB.510.S4/II/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hasil
Pembudidayaan Berbendera Asing (SIKPI-A). Moratorium itu berakhir bersamaan
dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 15/Permen-KP/2016
tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Namun, beleid yang diundangkan 7 April itu
membatasi kapal asing hanya boleh menerima ikan budidaya dari kapal berbendera
Indonesia di satu pelabuhan muat singgah. Kapal asing tetal dilarang
menjelajahi wilayah perikanan budidaya.
Menghadapi permasalahan tersebut
pembudidaya ikan dalam keramba di Kab.Langkat berharap (berpesan) :
§
Ada solusi alternatif dari pemerintah (Kementerian Kelautan dan
Perikanan seta Pemda) sebelum munculnya kapal-kapal lokal yang bisa bersaing
dan melakukan ekspor secara mandiri
§
Adanya tanggung jawab negara akibat kerugian besar yang dialami
pasca terbitnya surat edaran tersebut.
§
Adanya pengawasan yang ketat pasca terbitnya surat edaran
tersebut (tidak ada tebang pilih dalam penegakan kebijakan pemerintah)
§
Dikemudian hari, kebijakan yang dikelurkan pemerintah hendaknya
mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat banyak karena pasca terbitnya surat
edaran ini secara drastis menurunkan pendapatan kami, tanpa ada solusi
alternatif dini