Tuesday, March 24, 2020

PERSEPSI MASYARAKAT PERIKANAN TERHADAP KEBERLANJUTAN PELAKSANAAN TRADISI JAMU LAUT DI DESA JARING HALUS KABUPATEN LANGKAT




PENDAHULUAN

Peran aktif masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan bagian yang penting. Hal tersebut dapat dilihat pada suku-suku asli yang mendiami suatu tempat akan sangat mengenali lingkungannya, sehingga  mampu menggunakan kebudayaan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang diwujudkan dalam bentuk tradisi. Salah satu tradisi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah Jamu Laut yang dimiliki oleh masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Tradisi ini bukan saja berupa upacara ritual masyarakat pesisir sebagai bentuk hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam tetapi juga mengandung kearifan lokal yang secara ilmiah merupakan bagian dari konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan (Taryoto, 2016).

Keberadaan tradisi jamu laut semakin hari semakin tergerus sejalan dengan petambahan pendudukan yang mendorong peningkatan kebutuhan konsumsi ikan dan kebutuhan ekonomi lainnya. Demikian juga dengan peningkatan teknologi, mengakibatkan terbukanya akses  ke perairan disekitar desa Jaring Halus oleh nelayan luar. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak sesuai jalur penangkapan, pencemaran perairan, lemahnya pengawasan serta penegakan hukum dapat memicu konflik sosial antar nelayan. Disamping itu, sistem regenerasi tradisi jamu laut saat ini sudah terpengaruh dengan sistem demokrasi dan atau stagnasi kepemimpinan akibat tidak ada genersi muda yang mau melanjutkan tradisi. Seiring pergantian tokoh adat melahirkan beberapa perubahan terhadap kemampuan pribadi tokoh, kewibawaan dan kemampuan dalam mengatasi setiap masalah di kelembagaan (Taryoto, 2016). Menurunnya kemampuan tokoh dalam berpersepsi dan bertindak melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tokoh adat dalam masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberlanjutan pelaksanaan tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus Kecamatan Secaggang Kabupaten Langkat dilihat dari aspek kognitif (tahu), afektif (merasakan) dan psikomotorik (kesediaan). Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk mempertahankan keberlanjutan tradisi jamu laut.



BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat pada bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2019. Metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan wawancara terstruktur menggunakan skala Guttman meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diuji validitas dan reliabilitasnya.

Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secaggang Kabupaten Langkat sebanyak 1.100 jiwa. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah sistematik random sampling dengan kriteria; telah menjadi pelaku utama perikanan minimal 3 tahun, bertempat tinggal di Desa Jaring Halus minimal 10 tahun dan bukan termasuk keluarga pawang. Agar sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat mewakili populasi, maka penghitungan jumlah sampel dilakukan dengan rumus purposive sampling (Lynch,1974)


Dimana:

n   =   ukuran sampel

N  =   ukuran populasi

Z  =   jumlah variabel normal (1,96) untuk level rialibel 0,95

p   =   proporsi yang paling luas (0,5)

D  =   sampling error (0,10)



Berdasarkan rumus diatas, maka diperoleh jumlah responden sebagai berikut:



Penentuan informan kunci dilakukan secara purposive (sengaja) dengan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu tokoh adat, tokoh agama dan Kepala Desa Jaring Halus dan Penyuluh Perikanan. Informan kunci ditujukan untuk mengetahui sejarah, pelaksanaan jamu laut, proses adaptasi islam dengan budaya, kondisi desa dan dukungan pemerintah.

Pengolahan dan analisis data meliputi langkah – langkah sebagai berikut:

a.  Editing, merupakan tahap paling awal dari pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan pememeriksaan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah diisi oleh responden.

b.  Koding, mengorganisasi data ke dalam kategori – kategori tertentu agar mudah dianalisa.

c.   Data Entry, merupakan aktivitas memasukkan data ke dalam program computer

d.  Cek Data, melakukan cek terhadap data untuk memperoleh akurasi (accuracy). Hal-hal yang penting diperhatikan dalam tahap ini antara lain meliputi mengecek seberapa banyak data yang missing, apakah data tersebut relevan dengan tujuan penelitian, seberapa besar data tersebut menjawab pertanyaan penelitian.

e.  Melakukan transformasi dan Recode (apabila diperlukan)

f.    Pengolahan dan analisis

Analisa deskriptif dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai data yang diamati agar bermakna dan komunikatif. Adapun rumus untuk analisis data kuantitatif deskriptif dengan persentase dalam penelitian ini adalah


Keterangan :

F = Frekuensi jawaban responden

n = Number of Cases (jumlah responden)



Penentuan klasifikasi keberlanjutan pelaksanaan tradisi jamu laut dilakukan dengan memperhatikan rata-rata persentase yang menyatakan ya (bernilai 1) ketiga aspek. Bila rata-rata antara 0 dan 50% maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut dalam kondisi terancam dan bila rata-rata > dari 50 % maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut cukup berkelanjutan.



HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Jaring Halus merupakan desa pesisir di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat yang terletak pada 3051’30” - 3059’45” Lintang Utara dan 98030’ - 98042’ Bujur Timur dengan ketinggian ± 1 meter diatas permukaan laut. Disebelah Utara dan Timur desa ini berbatasan dengan Selat Malaka, sedangkan disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Selotong serta disebelah Barat berbatasan dengan Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura. Jarak dari ibukota Kabupaten ± 15 km. Jumlah penduduk tahun 2017 sebanyak 1.100 jiwa, dengan luas desa 10,69 km2. Masyarakat yang tinggal di Desa Jaring Halus 99,8% beragama islam dan 80,88% merupakan suku melayu (BPS Kabupaten Langkat, 2017). Umumnya masyarakat berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan. Hanya sebahagian kecil masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang, petani dan peternak binatang peliharaan





Pembahasan

Tradisi Jamu Laut  di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat merupakan salah satu tradisi yang masyarakat pesisir yang hampir punah. Hal ini diterbukti, dari 76 kelurahan/desa pesisir di Kabupaten Langkat, hanya di Desa Jaring Halus pelaksanaan Jamu Laut  masih diakui oleh masyarakat pesisir serta dijalankan  sesuai dengan tahapan dan tata cara yang sebenarnya termasuk aturan pantangan, waktunya serta dilakukan secara reguler setiap 3 tahun sekali (Taryoto, 2016). Jamu Laut bagi masyarakat Desa Jaring Halus merupakan suatu peninggalan kebudayaan yang telah berlangsung lama sejak tahun 1917. Dalam ritual ini, warga melalui Pawang Laut memberikan sesaji kepada penguasa laut dan para leluhur setiap tahunnya, namun mulai tahun 1997 ketika krisis moneter berlangsung dimana harga udang cukup tinggi masyarakat melupakan pelaksanan jamu laut dan berkonsentrasi dengan seluruh upaya dan seluruh waktu untuk memperoleh udang. Namun beberapa tahun kemudian harga udang merosot tajam dan nelayan luar seperti dari Belawan turut melakukan penangkapan dengan menggunakan trawl sehingga hasil tangkapan nelayanpun menurun tajam dan bahkan tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sejak saat itu disepakati pelaksanaan jamu laut menjadi setiap tiga tahun.

Pelaksanaan jamu laut merupakan permintaan masyarakat Desa Jaring Halus sebagai implementasi dari rasa hormat dan menghargai alam. Kepercayaan masyarakat desa merasa akan mendapat musibah misalnya kapal karam atau turunnya hasil laut bila acara syukuran laut tidak dilaksanakan. Hal ini sudah terbukti pada tahun 1997 dimana mereka melupakan pelaksanaan jamu laut maka musibahpun silih berganti.

Pelaksanaan tradisi jamu laut dipinpin oleh seorang pawang yang merupakan keturunan dari pawang sebelumnya dan merupakan keturunan pendiri sekaligus ketua adat Desa Jaring Halus. Pawang dianggap sebagai pemimpin diluar aparat desa yang diangkat oleh pemerintah setempat. Keberadaan pawang sangat dihargai masyarakat desa. Jabatan pawang akan diwariskan kepada keturunan selanjutnya melalui mimpi yang dialami oleh pawang yang bertugas saat itu. Perpindahan tongkat kepimpinan pawang terjadi saat pawang yang menjabat sudah meninggal, namun biasanya sebelum pawang meninggal, pengganti sudah disiapkan jauh hari. Tidak boleh ada 2 (dua) pawang yang memimpin desa.  Pawang akan memiliki keris yang diberikan secara turun temurun.

Sebelum tradisi jamu laut dilaksankan masyarakat telah disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk persiapan, mulai dari mempersiapkan binatang sembelihan yang akan dipersembahkan pada acara ritual, makanan khas pesisir dan sosialisasi para orang tua kepada anak-anak serta pendatang akan pantangan pasca jamu laut  dilaksanakan. Adapun pantangan dimaksud adalah tidak boleh melaut, mengambil benda yang jatuh ke tanah atau ke air dan tidak boleh berisik.


Aspek Kognitif Tradisi Jamu Laut

Secara umum pengetahuan masyarakat Desa Jaring Halus terhadap tradisi Jamu laut cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari 9 butir pernyataan yang disajikan 66,67% menyatakan tahu dan sisanya 33,33% menyatakan tidak tahu, sebagaimana tercantum pada Table 1 di atas. Hal tersebut terjadi karena adanya sosialisasi sebelum dilaksanakannya tradisi jamu laut dilaksanakan. Disamping itu, masyarakat yang mendiami Desa Jaring Halus umumnya merupakan masyakat asli (bukan pendatang) sehingga sudah mengetahui tradisi tersebut.  Adapun pertanyaan yang kurang diketahui oleh masyarat adalah terkait batas wilayah konservasi, dimana 88,6% menyatakan tidak tahu dan hanya 11,4 % masyarakat yang menjawab tahu. Demikian juga dengan sejarah tradisi jamu laut, dimana 72,7% menyatakan tidak tahu dan hanya 27,3% yang mengetahuinya. Terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang kawasan konservasi dikarenakan masih rendahnya akses masyarakat terhadap data dan informasi serta peran serta mereka dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut, sedangkan penyebab ketidaktahuan masyakat tentang sejarah tradisi jamu laut karena minimnya transfer informasi antar generasi.



Aspek Afektif Tradisi Jamu Laut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum afektif masyarakat terhadap tradisi jamu laut tergolong rendah, dimana hanya 55,93% masyarakat yang merasakan hal-hal positif yang terjadi saat dan pasca pelaksanaan tradisi jamu laut, sedangkan 44.07% merasakan tidak. Bila ditinjau dari masing-masing butir yang dipertanyakan maka pelestarian lingkungan merupakan hal yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat yaitu hanya 11,4%, menjamin hak ulayat dirasakan hanya 21,6% dan yang merasakan penghasilan hanya sebanyak 26,1%. Butir pernyataan yang dirasakan paling tinggi oleh masyarakat adalah bahwa pelaksanaan tradisi jamu laut menjadi sebuah hiburan ditengah-tengah masyarakat, yakni 94,3%, membuat gembira 89,8% dan menambah keakraban masyarakat dirasakan 80,7% sebagaimana tercantum pada Table 2 di atas.

Dilihat dari aspek afektif masyarakat Jaring Halus terhadap tradisi jamu laut masih cukup tinggi. Meskipun masyarakat kurang mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat pelestarian lingkungan dari pelaksanaan tradisi jamu laut, namun dari sisi lain masyarakat dapat merasakan manfaat sosial dan budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manfaat sosial dan budaya yang diperoleh lebih dirasakan oleh masyarakat, sementara aspek konservasi sumberdaya perairan yang menjadi tujuan dilaksanakannya tradisi jamu laut kurang tercapai. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Yulisty dkk, 2012) terhadap keberlanjutan lilifut, dimana diperoleh bahwa dari segi manfaat masyarakat disekitar wilayah pengelolaan, lilifut memperoleh manfaat berupa hak ulayat dan hak pengelolaan wilayah. Selain itu juga secara ekonomi dan sosial budaya masyarakat sangat merasakan manfaat dari sistem pengelolaan lilifut yang mereka lakukan. Ternyata masyarakat yang merasakan manfaat tradisi jamu laut dengan yang tidak merasakan hampir mendekati seimbang, dengan kata lain bahwa banyak masyarakat yang tidak menerima manfaat dari pelaksanaan tradisi jamu laut.



Aspek Psikomotorik Tradisi Jamu Laut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum psikomotorik masyarakat terhadap tradisi jamu laut masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 diatas, dimana kesediaan masyarakat untuk melaksanakan tradisi jamu laut yang mencapai 61,82% sedangkan yang menyatakan ketidaksediaan sebesar 38,18%.

Bila ditinjau dari masing-masing butir yang dipertanyakan maka kesiapan untuk mengundang kerabat dalam pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang paling rendah dimana 88,6 % menyatakan tidak bersedia  dan hanya 11,4 % yang menyatakan bersedia, sedangkan ikut serta dalam acara tradisi jamu laut memiliki persentase yang paling yakni 94,3% dan yang bersedia untuk turut serta mempersiapkan acara sebesar 83,0%.

Tingginya persentase masyarakat yang masih bersedia melaksanakan tradisi jamu laut diduga akibat budaya masyarakat yang tidak mau akan disebut durhaka (tidak menghormati tradisi pendahulu). Alasan lainnya adalah dukungan para pemuka agama untuk tetap melaksanakan tradisi ini dengan melakukan penyesuaian seperti merobah mantra menjadi doa secara islam. Faktor lainnya adalah bahwa Desa Jaring Halus relatif terisolir karena merupakan sebuah pulau dengan aksesibilitas yang relatif sulit sehingga masyarakat sangat membutuhkan keramaian sebagai sebuah hiburan tersendiri di desa. Demikian juga dengan alasan bahwa tradisi jamu laut dapat meningkatkan keakraban masyarakat desa menjadi salah satu pendorong tetap bersedianya masyarakat untuk melaksanakan tradisi jamu laut.



Keberlanjutan Tradisi Jamu Laut

Penentuan status keberlanjutan pelaksanaan tradisi jamu laut dilakukan dengan memperhatikan rata-rata persentase yang menyatakan ya (bernilai 1) ketiga aspek. Bila rata-rata antara 0 dan 50% maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut dalam kondisi terancam dan bila rata-rata > dari 50 % sampai dengan 100% maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut cukup berlanjut.

Hasil menunjukkan bahwa rata-rata persentase jawaban responden yang bernilai 1 sebesar 61,41 % yaitu berada diantara 50 % sampai dengan 100 % yang berarti bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus cukup berlanjut. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 4.

Bila dibandingkan persentase responden dari ketiga aspek sikap yang diukur ternyata aspek kognitif merupakan aspek yang memiliki persentase paling tinggi yakni 66,67%, sedangkan aspek afektif hanya sebesar 55,93% dan aspek psikomotorik 61,82% sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di atas. Miskipun mayoritas masyarakat masih mengetahui tentang tradisi jamu laut namun persentase yang tidak mengetahui juga sudah besar, demikian juga dengan aspek afektif dan psikomotorik, meskipun persentase masyarakat yang merasakan dan yang bersedia namun persentase yang tidak merasakan dan yang tidak bersedia juga sudah besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus dalam status cukup keberlanjut merupakan hal yang menggembirakan mengingat tekanan yang dialami oleh budaya-budaya lokal cukup berat terutama moderenisasi informasi dan teknologi serta masifnya siar agama.



SIMPULAN

Tradisi jamu laut merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang dalam pelestarian sumberdaya perairan yang berasal dari warisan nenek moyang yang hingga kini masih dilaksanakan. Pelaksanaan jamu laut dahulunya dilaksanakan setiap tahun, namun sejak tahun 1997 pelaksanaannya berubah menjadi sekali dalam 3 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat dilihat dari aspek kognitif hanya 66,67% yang mengetahui tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus, sedangkan 33,33% menyatakan tidak mengetahuinya. Batas-batas wilayah konservasi, sejarah dan tujuan pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang kurang diketahui oleh masyarakat. Persentase masyarakat yang mengetahui ketiga butir ini masing-masing hanya sebesar 11,4 %, 27,3% dan 43,2 %.

Dari aspek afektif diperoleh bahwa persentase yang merasakan manfaat tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus sebesar 55,93% dan yang tidak merasakan sebesar 44,07%. Manfaat sebagai upaya pelestarian lingkungan, peningkatan hak ulayat dan sebagai penambah penghasilan terlaksananya tradisi jamu laut merupakan butir yang kurang dirasakan oleh masyarakat. Persentase masyarakat yang merasakan manfaat ketiga butir ini masing-masing hanya sebesar 11,4%, 21,6% dan 26,1%.

Dari aspek psikomotorik diperoleh bahwa persentase yang bersedia melaksanakan tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus sebesar 61,82% dan yang tidak bersedia sebesar 38,18%. Mengundang kerabat untuk menyaksikan pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang memiliki kesediaan paling kecil yaitu sebesar 11,4%. Rata-rata persentase jawaban responden yang bernilai 1 (tahu) dari ketiga aspek yang diukur adalah sebesar 61,41 % yaitu berada diantara 50 % sampai dengan 100 % yang berarti bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus cukup berlanjut.



DAFTAR PUSTAKA

Banon,SA.,Nugroho,N., 2011. Upaya-Upaya Pengelolaan Sumberdaya Ikan yang Berkelanjutan di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, Vol  3 (2), 101-113.

BPS Kabupaten Langkat., 2017. Langkat dalam Angka 2016, Stabat

Dasrun, H.,  2012. Komunikasi Antar pribadi dan Medianya, Graha Ilmu Yogyakarta.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.Langkat., 2013. Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat 2013, Stabat.

Fauzi, A.,Buchary., 2002. A Socio-economic Perspective of environmental degradation at Kepulauan Seribu National Park, Indonesia, Coastal Management Journal Vol 30(2). 167-181.

Hadi, SP., 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, GadjahMada University Pres, Yogyakarta

Keraf, A.S., 2010. Etika Lingkungan Hidup, Jakarta

Khoirunnisak, Satria, A., 2016. Analisis Kelembagaan dan Keberlanjutan Eha Laut dana Mane’e Sebagai Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat, Jurnal Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Vol 1 (1), 23-37.

Leavitt, H.J., 1978.  Psikologi Manajemen, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lestari, E., Satria, A., 2015. Peranan Sistem Sasi Dalam Menunjang Pengelolaan Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat, Buletin Ilmiah Marina Sosek Kelautan dan Perikanan. Vol 1 (2), 67-76.

Lynch, S.,Hoelnsteiner, R., Cover, C., 1974. Data Gathering by Social Survey Quezon City, Philipinne Social Science Council.

Martono, N., 2010. Metode Penelitian kuantitatif; Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder, Raja Grafindo Persada. Jakarta

Oktaviani, D., Dharmadi., Puspasari, R., 2011. Upaya konservasi keanekaragaman hayati ikan perairan umum daratan di Jawa, Jurnal Kebijakan Perikanan, Indonesia, Vol 3 (1), 27-36.

Partanto, P.A., Barry, MDA., 2001. Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Jakarta.

Putra, F., 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Rakhmat, J. 2000.  Psikologi Komunikasi., PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 

Rakhmat,J., 2005. Psikologi Komunikasi, Cetakan kedua, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Riduwan., 2009. Skala Pengukuran Dalam Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Sartini., 2009. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Yogyakarta

Satria, A., 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir, PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.

Sugiyono., 2012. Metode Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Sulaiman., 2014. Pembangunan Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Syah Kuala, Vol XVI (64), 507-523.

Sukardi., 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan, PT Bumi Aksara, Jakarta.

Taryoto, A.H., 2016. Kearifan Lokal dari Tanah Batak ke Maluku, CV Rajawali Corporation, Bogor.

Undang-Undang No.45 tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Jakarta.

Undang Undang No. 32. Tahun 2009. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Yulisty, M., Kurniasari, N., Yuliaty, C., 2014. Analisis Keberlanjutan Lilifuk, Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Vol 9 (1),91-103.
Wade,C., Travis, C., 2002. Psikologi, Penerbit Erlangga, Jakarta

Monday, March 23, 2020

LUBUK LARANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM






I.         Pendahuluan

Sumberdaya perikanan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi tapi juga memiliki nilai ekologi dan nilai sosial. Ketiga nilai ini saling terikat dan saling mempengaruhi dan turut andil dalam menciptakan perilaku manusia terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan. Keberadaan sumberdaya sejatinya memang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, insting manusia yang cenderung mementingkan tujuan dan keinginan sesaat sering melahirkan perilaku yang lebih mementingkan nilai ekonomi ketimbang nilai ekologi dan nilai sosialnya. Padahal, dalam jangka waktu panjang, hilangnya salah satu nilai tersebut akan mengurangi nilai-nilai yang lain.

Salah satunya penyebab kerusakan sumberdaya perikanan adalah prilaku destruktif masyarakat baik dalam pemanfaat sumberdaya tersebut. Perilaku destruktif ini ditunjang oleh semakin majunya peradaban manusia dalam menciptakan teknologi yang dibungkus dengan kampanye modernisasi. Hilangnya beberapa species ikan di Sungai Brantas yang semula terdapat 17 species ikan air tawar pada tahun 2009 menjadi 11 species di tahun 2011 diindikasikan disebabkan oleh menurunnya kualitas air sungai dan berkurangnya habitat ideal bagi ikan (Anonymous, 2011).   Menurunnya kualitas air sungai menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah habitat ideal bagi ikan, selain rusaknya fisik sungai.

Hal sama terjadi di Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung, Hadiaty (2010) mengungkapkan bahwa species ikan yang berada di DAS Ciliwung dari hulu sampai hilir sudah mulai punah. Dari 187 jumlah species yang tersisa kini hanya 15 species. Sedangkan di DAS Cisadane dari 135 jenis ikan yang ada kini hanya tinggal 38 jenis saja.



Kondisi ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat  pemanfaat  sungai  baik  di  daerah aliran  sungai  maupun  yang  jauh  dari  daerah aliran sungai seperti aktifitas penambangan pasir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, dll. Selain itu political will yang bias darat menyebabkan daerah aliran sungai tidak menjadi prioritas pembangunan.

Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat bahwa menurunnya kualitas sumberdaya sungai disebabkan oleh perilaku masyarakat yang cenderung hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi terhadap sungai tersebut. Padahal, selain manusia adalah homo economicus, perlu disadari bahwa manusia pun secara fitrahnya merupakan homo socius dan homo ecologicus.  Perilaku yang mempertimbangkan keseimbangan antara pemenuhan kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial merupakan hal yang penting agar pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tidak hanya mampu mememuhi kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan mental spiritual, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Pengelolaan sumberdaya perikanan hendaknya mengarah pada pelestarian sumberdaya hayati sungai seperti perlindungan ikan dan ekosistem di sekitar sungai. Sehingga, masyarakat digiring untuk berprilaku ekologis terhadap sungai. Dalam perkembangannya, masyarakat tidak hanya mendapatkan keuntungan ekologis      berupa bertambahnya populasi dan keragamanan ikan, namun mereka pun mendapatkan mata pencaharian alternatif baru sebagai penyedia jasa pariwisata, dan yang sangat penting adalah terjalinnya kohesifitas sosial yang semakin erat.  Mekanisme pengelolaan sungai tersebut dikenal dengan nama “lubuk larangan”. Lubuk Larangan dibentuk atau ditetapkan sebagai bentuk kepedulian masyarakat setempat terhadap keberadaan sumber daya air, terutama sungai  sebagai  habitat  biota perairan.

Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di sungai, telaga, atau laut”2, sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini ditambah dengan akhiran -an akan menjadi kata ”larangan”. Aturan lubuk larang atau lubuk larangan mengartikan sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan bertelur, dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas dasar kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat mengartikannya sebagai suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam masa tertentu. Aturan juga menyebutkan, peralatan yang digunakan dalam mengambil ikan dibatasi pada alat tangkap yang dapat menjamin kelestarian ikan. Sanksi juga berlaku untuk pengambilan yang menggunakan racun, putas, setrum, dan bahan peledak. Bagi masyarakat, bukan hanya denda adat dan sanksi sosial yang membuat mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larangan, tetapi berkaitan dengan kepercayaan adanya bahaya bagi mereka yang mengambilnya. Melalui kesepakatan bersama sebuah lubuk larangan lalu dibuka, dipanen dan hasilnya digunakan untuk keperluan masyarakat tertentu.

Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larangan merupakan tradisi turun temurun masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai ekonomi, ternyata lubuk larangan juga menyimpan kearifan lokal. Melalui lubuk larangan komunitas setempat mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini cenderung mengurangi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, khususnya sungai. Dengan mengelola lubuk larangan masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara merekadalam format pengelolaan sumberdaya “milik bersama”. Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan. Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Beranjak dari pemikiran di atas, kiranya penting untuk menangkap secara utuh pesan pengelolaan lubuk larangan oleh masyarakat itu. Pada dasarnya, itu merupakan cerminan masyarakat yang mampu mengatur diri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang sesungguhnya menjadi dasar bagi otonomi desa. Dengan sikap ini mereka mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan lubuk larangan



  

II.      Implementasi Lubuk Larangan

Lubuk larangan dapat dikatakan sebagai aktualisasi perilaku ekologis masyarakat.  Implementasi perilaku ekologis tersebut dapat dilihat dari 4 hal yaitu :

1.    Kemampuan membagi wilayah pengelolaan perairan berdasarkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial;

2.    Kemampuan melakukan pengambilan keputusan secara kolektif sehingga berimplikasi pada aspek psikis masyarakat untuk memiliki bersama dan mentaati setiap keputusan bersama;

3.    Kemampuan membangun mekanisme penegakkan hukum yang efektif meminimalisir pelanggaran dan meredam konflik secara damai, dan

4.    Kemampuan  melakukan  sosialisasi dengan baik sehingga tidak hanya masyarakat yang mengetahui peraturan lubuk larangan yang mematuhinya, namun masyarakat di luarpun mengetahui, menghargai dan ikut mentaati kesepakatan lokal tersebut.

Lubuk larangan kemudian dibagi dalam tiga (3) zona, yakni zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Pembagian zonasi pada lubuk larangan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dimana   lubuk   larangan   termasuk   salah satu kawasan konservasi sumberdaya ikan dalam upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya   ikan,   termasuk   ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Lubuk larangan kemudian tidak semata-mata hanya memperhatikan nilai ekologi dari sumberdaya sungai tapi juga nilai ekonomi dan nilai sosialnya.

Zona  inti dalam hal ini merupakan zona yang lebih banyak berfungsi  secara ekologi atau bersifat konservasi (perlindungan dan pelestarian sumberdaya) yang diperuntukkan bagi perkembangbiakan ikan dan tidak boleh diganggu/ dimanfaatkan selama dalam masa pengelolaan lubuk larangan. Sementara Zona penyangga merupakan zona pembatas antara zona inti. Pemanfaatan lebih ditujukan untuk memenuhi nilai ekonomi dan nilai sosial. Pada zona ini diberlakukan buka tutup lubuk dengan aturan yang disepakati bersama.

Nilai sosial tercermin jelas dalam mekanisme pengelolaan zona penyangga terutama ketika pelaksanaan buka lubuk. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan    penutupan sarat akan semangat kebersamaan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas. Begitupun dalam penggunaan uang hasil pembukaan lubuk, diperuntukkan bagi pembangunan fasilitas-fasilitas sosial  seperti  masjid  dan  infrastruktur  lainnya dan kegiatan-kegiatan sosial budaya misalnya penyelenggaraan acara adat perayaan idul fitri. Pada zona pemanfaatan masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya sungai kapan saja namun dengan peralatan dan tatacara yang telah disepakati bersama.

Mekanisme pengambilan keputusan dalam lubuk larangan dilakukan dengan  secara kolektif berdasarkan prinsip partisipatif dan representatif. Pengambilan keputusan ini terkait dengan mekanisme pengelolaan, mekanisme penegakkan aturan dan penentuan sanksi atas setiap pelanggaran yang terjadi. Keputusan kolektif yang pada dasarnya merupakan kesepakatan lokal ini merupakan pedoman dan payung hukum informal bagi perilaku ekologis masyarakat.

Keputusan bersama dalam hal pengelolaan lubuk  terkait  dengan  waktu  buka  tutup  lubuk, aturan  dalam  buka  tutup  lubuk,  distribusi  hak, dan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi. Waktu buka tutup dapat dibuat seperti pada saat menjelang Bulan Ramadhan atau hari-hari sakral lainnya. Sedangkan alat tangkap yang diijinkan adalah alat tangkap ikan yang ramah lingkungan (tidak merusak) seperti serok, pancing dan jala.  Semua  jenis  ikan  boleh  diambil  sepanjang ikan tersebut ada di zona penyangga dan zona pemanfaatan. Dengan dibatasinya jenis alat tangkap  maka  diharapkan  ikan-ikan  kecil  tidak ikut terjaring. Peserta buka lubuk tidak hanya masyarakat lokal, masyarakat tetangga pun dapat berpartisipasi. Hasil panen dimanfaatkan untuk pembangunan kawawan sekitar seperti perbaikan jalan, mesjid dan mushala, kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan pemuda dan pembelian benih ikan untuk restocking. Pada zona inti semua warga tidak boleh memanfaatkan sumberdaya wilayah tersebut baik itu berupa ikan maupun biota lainnya. Zona inti benar-benar diperuntukan sebagai wilayah konservasi.



  

III.   Pengelolaan Lubuk Larangan

Pengelolaan lubuk larangan yang efektif dan efisien adalah ketika diserahkan kepada Pokmaswas. Pokmaswas adalah kelompok masyarakat pengawas dengan sistem pengawasan melekat berbasis masyarakat yang beranggotakan setiap unsur masyarakat serta melibatkan tokoh  agama  dan  tokoh  pemuda.  Pengelolaan ini diantaranya terkait dengan penentuan dan mekanisme buka tutup lubuk, penetapan jenis sanksi atas setiap pelanggaran, serta berbagai kebijakan sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mengembangkan lubuk larangan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Selain itu secara umum peran Pokmaswas dalam pengelolaan lubuk larangan adalah :

1.    Mengawasi sumber daya perikanan di lokasi khusus lubuk larangan yang telah disepakati dan perairan secara umum

2.    Melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan kepada pihak yang berwenang seperti PPNS pada Dinas Perikanan atau Polisi/Polisi Perairan

3.    Sebagai jaringan informasi bagi aparat penegak hukum/petugas berwenang

4.    Tidak melakukan tindakan main hakim sendiiri dan/atau anarkis terhadap dugaan tindak pelanggaran perikanan

5.    Menghindari tindakan refresif yang melanggar hukum.



  

DAFTAR PUSTAKA



Anonymous. 2011. 6 Species Ikan di Sungai Brantas Hilang.    http://regional.kompas. com/read/2011/07/18/21395570/6. Diakses Tanggal 24 Mei 2018.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakartaa

Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta