PENDAHULUAN
Peran aktif
masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan bagian yang
penting. Hal tersebut dapat dilihat pada suku-suku asli yang mendiami suatu
tempat akan sangat mengenali lingkungannya, sehingga mampu menggunakan kebudayaan untuk
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang diwujudkan dalam bentuk
tradisi. Salah satu tradisi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia
adalah Jamu Laut yang dimiliki oleh masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan
Secanggang Kabupaten Langkat. Tradisi ini bukan saja berupa upacara ritual
masyarakat pesisir sebagai bentuk hubungan yang harmonis antara manusia dengan
alam tetapi juga mengandung kearifan lokal yang secara ilmiah merupakan bagian
dari konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan (Taryoto, 2016).
Keberadaan
tradisi jamu laut semakin hari semakin tergerus sejalan dengan petambahan
pendudukan yang mendorong peningkatan kebutuhan konsumsi ikan dan kebutuhan
ekonomi lainnya. Demikian juga
dengan peningkatan teknologi, mengakibatkan
terbukanya akses ke perairan disekitar
desa Jaring Halus oleh nelayan luar. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan dan tidak sesuai jalur penangkapan, pencemaran perairan, lemahnya
pengawasan serta penegakan hukum dapat memicu
konflik sosial antar nelayan. Disamping itu, sistem regenerasi
tradisi jamu laut saat ini sudah terpengaruh dengan sistem demokrasi dan atau
stagnasi kepemimpinan akibat tidak ada genersi muda yang mau melanjutkan
tradisi. Seiring
pergantian tokoh adat melahirkan beberapa perubahan terhadap kemampuan pribadi
tokoh, kewibawaan dan kemampuan dalam mengatasi setiap masalah di kelembagaan (Taryoto, 2016). Menurunnya kemampuan tokoh dalam
berpersepsi dan bertindak melahirkan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap tokoh adat dalam masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberlanjutan pelaksanaan tradisi jamu laut di
Desa Jaring Halus Kecamatan Secaggang Kabupaten Langkat dilihat dari aspek kognitif (tahu), afektif (merasakan) dan
psikomotorik (kesediaan). Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
dan pihak terkait lainnya untuk mempertahankan keberlanjutan tradisi jamu laut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian
dilaksanakan di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat pada bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2019. Metode yang digunakan adalah
kuantitatif deskriptif dengan wawancara terstruktur menggunakan skala Guttman meliputi
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diuji validitas dan reliabilitasnya.
Populasi
penelitian adalah seluruh masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secaggang
Kabupaten Langkat sebanyak 1.100 jiwa. Teknik penentuan sampel yang digunakan
adalah sistematik random sampling dengan kriteria; telah menjadi pelaku utama
perikanan minimal 3 tahun, bertempat tinggal di Desa Jaring Halus minimal 10
tahun dan bukan termasuk keluarga pawang. Agar
sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat mewakili populasi, maka
penghitungan jumlah sampel dilakukan dengan rumus purposive
sampling (Lynch,1974)
Dimana:
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
Z = jumlah variabel normal (1,96) untuk level
rialibel 0,95
p = proporsi yang paling luas (0,5)
D = sampling error (0,10)
Berdasarkan rumus diatas, maka
diperoleh jumlah responden sebagai berikut:
Penentuan
informan kunci dilakukan secara purposive
(sengaja) dengan teknik bola salju (snowball
sampling) yaitu tokoh adat, tokoh agama dan Kepala Desa Jaring Halus dan
Penyuluh Perikanan. Informan kunci ditujukan untuk mengetahui sejarah,
pelaksanaan jamu laut, proses adaptasi islam dengan budaya, kondisi desa dan
dukungan pemerintah.
Pengolahan
dan analisis data meliputi langkah – langkah sebagai berikut:
a.
Editing,
merupakan tahap paling awal dari pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan
pememeriksaan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah diisi oleh responden.
b.
Koding,
mengorganisasi data ke dalam kategori – kategori tertentu agar mudah dianalisa.
c.
Data
Entry, merupakan aktivitas memasukkan data ke dalam program computer
d.
Cek
Data, melakukan cek terhadap data untuk memperoleh akurasi (accuracy).
Hal-hal yang penting diperhatikan dalam tahap ini antara lain meliputi mengecek
seberapa banyak data yang missing, apakah data tersebut relevan dengan
tujuan penelitian, seberapa besar data tersebut menjawab pertanyaan penelitian.
e.
Melakukan
transformasi dan Recode (apabila diperlukan)
f.
Pengolahan
dan analisis
Analisa deskriptif
dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai data yang diamati agar bermakna
dan komunikatif. Adapun rumus
untuk
analisis data
kuantitatif deskriptif
dengan persentase dalam penelitian ini adalah
Keterangan :
F = Frekuensi
jawaban responden
n = Number of
Cases (jumlah responden)
Penentuan
klasifikasi keberlanjutan pelaksanaan tradisi jamu laut dilakukan dengan
memperhatikan rata-rata persentase yang menyatakan ya (bernilai 1) ketiga
aspek. Bila rata-rata antara 0 dan 50% maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut
dalam kondisi terancam dan bila rata-rata > dari 50 % maka dinyatakan bahwa
tradisi jamu laut cukup berkelanjutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Jaring Halus merupakan
desa pesisir di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat yang terletak pada 3051’30”
- 3059’45” Lintang Utara dan 98030’ - 98042’
Bujur Timur dengan ketinggian ± 1 meter diatas permukaan laut. Disebelah Utara
dan Timur desa ini berbatasan dengan Selat Malaka, sedangkan disebelah Selatan berbatasan
dengan Desa Selotong serta disebelah Barat berbatasan dengan Desa Tapak Kuda
Kecamatan Tanjung Pura. Jarak dari ibukota Kabupaten ± 15 km. Jumlah
penduduk tahun 2017 sebanyak 1.100 jiwa, dengan luas desa 10,69 km2. Masyarakat yang tinggal di Desa Jaring
Halus 99,8% beragama islam dan 80,88% merupakan suku melayu (BPS Kabupaten Langkat, 2017). Umumnya
masyarakat berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan.
Hanya sebahagian kecil masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang, petani dan
peternak binatang peliharaan
Pembahasan
Tradisi Jamu Laut di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang
Kabupaten Langkat merupakan salah satu tradisi yang masyarakat pesisir yang
hampir punah. Hal ini diterbukti, dari 76 kelurahan/desa pesisir di Kabupaten
Langkat, hanya di Desa Jaring Halus pelaksanaan Jamu Laut masih diakui oleh masyarakat pesisir serta
dijalankan sesuai dengan tahapan dan
tata cara yang sebenarnya termasuk aturan pantangan, waktunya serta dilakukan
secara reguler setiap 3 tahun sekali (Taryoto, 2016). Jamu Laut bagi masyarakat
Desa Jaring Halus merupakan suatu peninggalan kebudayaan yang telah berlangsung
lama sejak tahun 1917. Dalam ritual ini, warga melalui Pawang Laut memberikan
sesaji kepada penguasa laut dan para leluhur setiap tahunnya, namun mulai tahun
1997 ketika krisis moneter berlangsung dimana harga udang cukup tinggi
masyarakat melupakan pelaksanan jamu laut dan berkonsentrasi dengan seluruh
upaya dan seluruh waktu untuk memperoleh udang. Namun beberapa tahun kemudian
harga udang merosot tajam dan nelayan luar seperti dari Belawan turut melakukan
penangkapan dengan menggunakan trawl sehingga hasil tangkapan nelayanpun
menurun tajam dan bahkan tidak
sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sejak saat itu disepakati
pelaksanaan jamu laut menjadi setiap tiga
tahun.
Pelaksanaan jamu laut merupakan
permintaan masyarakat Desa Jaring Halus sebagai implementasi dari rasa hormat
dan menghargai alam. Kepercayaan masyarakat desa merasa akan mendapat musibah
misalnya kapal karam atau turunnya hasil laut bila acara syukuran laut tidak
dilaksanakan. Hal ini sudah terbukti pada
tahun 1997 dimana mereka melupakan
pelaksanaan jamu laut maka musibahpun silih berganti.
Pelaksanaan tradisi jamu laut
dipinpin oleh
seorang pawang yang merupakan keturunan
dari pawang sebelumnya dan merupakan keturunan pendiri sekaligus ketua adat
Desa Jaring Halus. Pawang dianggap sebagai pemimpin diluar aparat desa yang
diangkat oleh pemerintah setempat. Keberadaan pawang sangat dihargai masyarakat
desa. Jabatan pawang akan diwariskan kepada keturunan selanjutnya melalui mimpi
yang dialami oleh pawang yang bertugas saat itu.
Perpindahan tongkat kepimpinan pawang terjadi saat pawang yang menjabat sudah
meninggal, namun biasanya sebelum pawang meninggal, pengganti sudah disiapkan
jauh hari. Tidak boleh ada 2 (dua) pawang yang memimpin desa. Pawang akan memiliki keris yang diberikan secara
turun temurun.
Sebelum tradisi jamu laut
dilaksankan
masyarakat telah disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk persiapan, mulai
dari mempersiapkan binatang sembelihan yang akan dipersembahkan pada acara
ritual, makanan khas pesisir dan sosialisasi para orang tua kepada anak-anak
serta pendatang akan pantangan pasca jamu laut
dilaksanakan. Adapun pantangan dimaksud adalah tidak boleh melaut,
mengambil benda yang jatuh ke tanah atau ke air dan tidak boleh berisik.
Aspek Kognitif Tradisi Jamu Laut
Secara umum pengetahuan masyarakat Desa Jaring Halus terhadap tradisi
Jamu laut cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dari 9 butir pernyataan yang
disajikan 66,67% menyatakan tahu dan sisanya 33,33% menyatakan tidak tahu,
sebagaimana tercantum pada Table 1 di atas. Hal tersebut terjadi karena adanya
sosialisasi sebelum dilaksanakannya tradisi jamu laut dilaksanakan. Disamping
itu, masyarakat yang mendiami Desa Jaring Halus umumnya merupakan masyakat asli
(bukan pendatang) sehingga sudah mengetahui tradisi tersebut. Adapun pertanyaan yang kurang diketahui oleh
masyarat adalah terkait batas wilayah konservasi, dimana 88,6% menyatakan tidak
tahu dan hanya 11,4 % masyarakat yang menjawab tahu. Demikian juga dengan
sejarah tradisi jamu laut, dimana 72,7% menyatakan tidak tahu dan hanya 27,3%
yang mengetahuinya. Terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang kawasan
konservasi dikarenakan masih rendahnya akses masyarakat terhadap data dan
informasi serta peran serta mereka dalam pengelolaan kawasan
konservasi tersebut, sedangkan penyebab ketidaktahuan masyakat tentang sejarah
tradisi jamu laut karena minimnya transfer informasi antar generasi.
Aspek Afektif Tradisi Jamu Laut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara umum afektif masyarakat terhadap tradisi jamu laut tergolong rendah,
dimana hanya 55,93% masyarakat yang merasakan hal-hal positif yang terjadi saat
dan pasca pelaksanaan tradisi jamu laut, sedangkan 44.07% merasakan tidak. Bila
ditinjau dari masing-masing butir yang dipertanyakan maka pelestarian
lingkungan merupakan hal yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat yaitu
hanya 11,4%, menjamin hak ulayat dirasakan hanya 21,6% dan yang merasakan
penghasilan hanya sebanyak 26,1%. Butir pernyataan yang dirasakan paling tinggi
oleh masyarakat adalah bahwa pelaksanaan tradisi jamu laut menjadi sebuah
hiburan ditengah-tengah masyarakat, yakni 94,3%, membuat gembira 89,8% dan
menambah keakraban masyarakat dirasakan 80,7% sebagaimana
tercantum pada Table 2 di atas.
Dilihat dari aspek afektif
masyarakat Jaring Halus terhadap tradisi jamu laut masih cukup tinggi. Meskipun
masyarakat kurang mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat pelestarian
lingkungan dari pelaksanaan tradisi jamu laut, namun dari sisi lain masyarakat
dapat merasakan manfaat sosial dan budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
manfaat sosial dan budaya yang diperoleh lebih dirasakan oleh masyarakat,
sementara aspek konservasi sumberdaya perairan yang menjadi tujuan dilaksanakannya
tradisi jamu laut kurang tercapai. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh (Yulisty dkk, 2012) terhadap keberlanjutan
lilifut, dimana diperoleh bahwa dari segi manfaat masyarakat disekitar wilayah
pengelolaan, lilifut memperoleh manfaat berupa hak ulayat dan hak pengelolaan
wilayah. Selain itu juga secara ekonomi dan sosial budaya masyarakat sangat
merasakan manfaat dari sistem pengelolaan lilifut yang mereka lakukan. Ternyata
masyarakat yang merasakan manfaat tradisi jamu laut dengan yang tidak merasakan
hampir mendekati seimbang, dengan kata lain bahwa banyak masyarakat yang tidak
menerima manfaat dari pelaksanaan tradisi jamu laut.
Aspek Psikomotorik Tradisi Jamu Laut
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum psikomotorik masyarakat terhadap
tradisi jamu laut masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3
diatas, dimana kesediaan masyarakat untuk melaksanakan tradisi jamu laut yang
mencapai 61,82% sedangkan yang menyatakan ketidaksediaan sebesar 38,18%.
Bila
ditinjau dari masing-masing butir yang dipertanyakan maka kesiapan untuk
mengundang kerabat dalam pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang
paling rendah dimana 88,6 % menyatakan tidak bersedia dan hanya 11,4 % yang menyatakan bersedia,
sedangkan ikut serta dalam acara tradisi jamu laut memiliki persentase yang
paling yakni 94,3% dan yang bersedia untuk turut serta mempersiapkan acara
sebesar 83,0%.
Tingginya
persentase masyarakat yang masih bersedia melaksanakan tradisi jamu laut diduga
akibat budaya masyarakat yang tidak mau akan disebut durhaka (tidak menghormati
tradisi pendahulu). Alasan lainnya adalah dukungan para pemuka agama untuk
tetap melaksanakan tradisi ini dengan melakukan penyesuaian seperti merobah
mantra menjadi doa secara islam. Faktor lainnya adalah bahwa Desa Jaring Halus
relatif terisolir karena merupakan sebuah pulau dengan aksesibilitas yang
relatif sulit sehingga masyarakat sangat membutuhkan keramaian sebagai sebuah
hiburan tersendiri di desa. Demikian juga dengan alasan bahwa tradisi jamu laut
dapat meningkatkan keakraban masyarakat desa menjadi salah satu pendorong tetap
bersedianya masyarakat untuk melaksanakan tradisi jamu laut.
Keberlanjutan Tradisi Jamu Laut
Penentuan
status keberlanjutan pelaksanaan
tradisi jamu laut dilakukan dengan memperhatikan rata-rata persentase yang
menyatakan ya (bernilai 1) ketiga aspek. Bila rata-rata antara 0 dan 50% maka
dinyatakan bahwa tradisi jamu laut dalam kondisi terancam dan bila rata-rata
> dari 50 % sampai dengan 100% maka dinyatakan bahwa tradisi jamu laut cukup
berlanjut.
Hasil
menunjukkan bahwa rata-rata persentase jawaban responden yang bernilai 1
sebesar 61,41 % yaitu berada diantara 50 % sampai dengan 100 % yang berarti
bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus cukup berlanjut. Untuk lebih
jelasnya dapat di lihat pada Tabel 4.
Bila
dibandingkan persentase responden dari ketiga aspek sikap yang diukur ternyata
aspek kognitif merupakan aspek yang memiliki persentase paling tinggi yakni
66,67%, sedangkan aspek afektif hanya sebesar 55,93% dan aspek psikomotorik
61,82% sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di atas. Miskipun mayoritas
masyarakat masih mengetahui tentang tradisi jamu laut namun persentase yang
tidak mengetahui juga sudah besar, demikian juga dengan aspek afektif dan
psikomotorik, meskipun persentase masyarakat yang merasakan dan yang bersedia
namun persentase yang tidak merasakan dan yang tidak bersedia juga sudah besar.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring
Halus dalam status cukup keberlanjut merupakan hal yang menggembirakan mengingat tekanan yang dialami oleh budaya-budaya
lokal cukup berat terutama moderenisasi informasi dan teknologi serta masifnya
siar agama.
SIMPULAN
Tradisi jamu laut merupakan kearifan lokal masyarakat
Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang dalam pelestarian sumberdaya perairan
yang berasal dari warisan nenek moyang yang hingga kini masih dilaksanakan.
Pelaksanaan jamu laut dahulunya dilaksanakan setiap tahun, namun sejak tahun
1997 pelaksanaannya berubah menjadi sekali dalam 3 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa persepsi masyarakat dilihat dari aspek kognitif hanya 66,67% yang
mengetahui tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus, sedangkan 33,33% menyatakan
tidak mengetahuinya. Batas-batas wilayah konservasi, sejarah dan tujuan
pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang kurang diketahui oleh
masyarakat. Persentase masyarakat yang mengetahui ketiga butir ini
masing-masing hanya sebesar 11,4 %, 27,3% dan 43,2 %.
Dari aspek afektif diperoleh bahwa persentase yang
merasakan manfaat tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus sebesar 55,93% dan yang
tidak merasakan sebesar 44,07%. Manfaat sebagai upaya pelestarian lingkungan,
peningkatan hak ulayat dan sebagai penambah penghasilan terlaksananya tradisi
jamu laut merupakan butir yang kurang dirasakan oleh masyarakat. Persentase
masyarakat yang merasakan manfaat ketiga butir ini masing-masing hanya sebesar
11,4%, 21,6% dan 26,1%.
Dari aspek psikomotorik diperoleh bahwa persentase
yang bersedia melaksanakan tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus sebesar 61,82%
dan yang tidak bersedia sebesar 38,18%. Mengundang kerabat untuk menyaksikan
pelaksanaan tradisi jamu laut merupakan butir yang memiliki kesediaan paling
kecil yaitu sebesar 11,4%. Rata-rata persentase jawaban responden
yang bernilai 1 (tahu) dari
ketiga aspek yang diukur adalah sebesar 61,41 % yaitu berada diantara 50 %
sampai dengan 100 % yang berarti bahwa tradisi jamu laut di Desa Jaring Halus
cukup berlanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Banon,SA.,Nugroho,N., 2011. Upaya-Upaya Pengelolaan
Sumberdaya Ikan yang Berkelanjutan di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, Vol 3 (2), 101-113.
BPS Kabupaten Langkat.,
2017. Langkat dalam Angka 2016, Stabat
Dasrun, H.,
2012. Komunikasi Antar pribadi dan Medianya, Graha Ilmu Yogyakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.Langkat., 2013. Data Base Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Langkat 2013, Stabat.
Fauzi,
A.,Buchary., 2002. A Socio-economic Perspective of environmental degradation at
Kepulauan Seribu National Park, Indonesia, Coastal Management
Journal Vol 30(2). 167-181.
Hadi, SP., 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, GadjahMada
University Pres, Yogyakarta
Keraf, A.S., 2010. Etika Lingkungan Hidup, Jakarta
Khoirunnisak,
Satria, A.,
2016. Analisis Kelembagaan dan Keberlanjutan Eha Laut dana Mane’e Sebagai Model
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat, Jurnal Sosiologi Pedesaan
Institut Pertanian Bogor. Vol 1 (1), 23-37.
Leavitt, H.J., 1978. Psikologi Manajemen, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lestari, E.,
Satria, A., 2015.
Peranan Sistem Sasi Dalam Menunjang Pengelolaan Berkelanjutan pada Kawasan
Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat,
Buletin Ilmiah Marina Sosek Kelautan dan Perikanan. Vol 1 (2), 67-76.
Lynch, S.,Hoelnsteiner, R., Cover, C., 1974. Data Gathering by Social Survey
Quezon City, Philipinne Social Science Council.
Martono, N., 2010. Metode Penelitian kuantitatif; Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder,
Raja Grafindo Persada. Jakarta
Oktaviani, D.,
Dharmadi.,
Puspasari, R., 2011.
Upaya konservasi keanekaragaman hayati ikan perairan umum daratan di Jawa, Jurnal Kebijakan Perikanan, Indonesia, Vol 3 (1), 27-36.
Partanto, P.A., Barry, MDA., 2001. Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, Jakarta.
Putra, F., 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Rakhmat, J. 2000. Psikologi
Komunikasi., PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Rakhmat,J., 2005. Psikologi Komunikasi, Cetakan kedua,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Riduwan., 2009. Skala Pengukuran Dalam
Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Sartini., 2009. Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Yogyakarta
Satria, A., 2002. Sosiologi Masyarakat
Pesisir, PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Sugiyono.,
2012. Metode Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Sulaiman., 2014. Pembangunan Hukum Perikanan
Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Syah Kuala, Vol XVI (64), 507-523.
Sukardi., 2011. Metodologi Penelitian
Pendidikan, PT Bumi Aksara, Jakarta.
Taryoto,
A.H., 2016. Kearifan Lokal dari Tanah
Batak ke Maluku,
CV Rajawali Corporation, Bogor.
Undang-Undang No.45
tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
Jakarta.
Undang Undang No. 32. Tahun 2009. Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jakarta.
Yulisty, M.,
Kurniasari, N.,
Yuliaty, C.,
2014. Analisis Keberlanjutan Lilifuk, Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal, Balai
Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, Vol 9 (1),91-103.
Wade,C., Travis, C., 2002. Psikologi, Penerbit Erlangga, Jakarta