I.
Pendahuluan
Sumberdaya
perikanan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi tapi juga memiliki nilai ekologi dan nilai sosial. Ketiga nilai ini saling terikat
dan saling mempengaruhi dan turut andil dalam
menciptakan perilaku manusia terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan.
Keberadaan sumberdaya sejatinya memang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Namun, insting manusia yang cenderung mementingkan tujuan
dan keinginan sesaat sering
melahirkan perilaku yang lebih mementingkan nilai ekonomi ketimbang nilai ekologi dan nilai sosialnya. Padahal, dalam jangka waktu
panjang, hilangnya salah satu nilai tersebut akan mengurangi nilai-nilai yang lain.
Salah satunya
penyebab kerusakan sumberdaya perikanan adalah prilaku destruktif masyarakat baik dalam pemanfaat
sumberdaya tersebut. Perilaku
destruktif ini ditunjang oleh semakin majunya peradaban manusia dalam
menciptakan teknologi yang dibungkus dengan kampanye modernisasi. Hilangnya
beberapa species ikan di Sungai Brantas yang semula terdapat 17 species ikan air tawar pada tahun 2009
menjadi 11 species di tahun 2011 diindikasikan disebabkan oleh menurunnya kualitas
air sungai dan berkurangnya habitat ideal bagi ikan (Anonymous, 2011). Menurunnya kualitas
air sungai menjadi penyebab
utama berkurangnya jumlah habitat ideal bagi ikan, selain
rusaknya fisik sungai.
Hal
sama terjadi di Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung, Hadiaty (2010)
mengungkapkan bahwa species ikan yang berada di DAS Ciliwung dari hulu sampai hilir sudah mulai punah. Dari 187 jumlah species yang tersisa kini hanya
15 species. Sedangkan di DAS Cisadane dari 135 jenis ikan yang ada kini hanya tinggal 38 jenis saja.
Kondisi
ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat pemanfaat sungai
baik di daerah aliran sungai
maupun yang jauh
dari daerah aliran sungai seperti
aktifitas penambangan pasir,
pembuangan limbah industri dan rumah tangga, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan, dll. Selain itu political
will yang bias darat menyebabkan
daerah aliran sungai tidak menjadi prioritas
pembangunan.
Berdasarkan
hal tersebut, maka terlihat bahwa menurunnya
kualitas sumberdaya sungai disebabkan
oleh perilaku masyarakat yang cenderung hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi terhadap sungai tersebut. Padahal,
selain manusia adalah homo
economicus, perlu disadari bahwa manusia pun secara fitrahnya merupakan homo
socius dan homo ecologicus. Perilaku yang
mempertimbangkan keseimbangan antara pemenuhan kepentingan ekonomi,
ekologi dan sosial merupakan hal yang penting agar pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya tidak hanya mampu mememuhi
kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan mental spiritual, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.
Pengelolaan
sumberdaya perikanan hendaknya mengarah pada pelestarian sumberdaya hayati
sungai seperti perlindungan ikan dan ekosistem
di sekitar sungai. Sehingga, masyarakat digiring untuk
berprilaku ekologis terhadap sungai.
Dalam perkembangannya,
masyarakat tidak hanya mendapatkan keuntungan ekologis berupa bertambahnya populasi dan keragamanan ikan, namun mereka pun
mendapatkan mata pencaharian
alternatif baru sebagai penyedia jasa pariwisata, dan yang sangat
penting adalah terjalinnya kohesifitas sosial yang semakin erat. Mekanisme pengelolaan sungai tersebut dikenal
dengan nama “lubuk larangan”. Lubuk
Larangan dibentuk atau ditetapkan sebagai bentuk kepedulian masyarakat setempat
terhadap keberadaan sumber daya air, terutama sungai sebagai
habitat biota perairan.
Secara
etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di
sungai, telaga, atau laut”2, sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah
dilarang melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini ditambah dengan akhiran -an akan menjadi kata ”larangan”.
Aturan lubuk larang atau lubuk larangan mengartikan
sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan bertelur,
dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas
dasar kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat
mengartikannya sebagai suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam
masa tertentu. Aturan juga menyebutkan, peralatan yang digunakan dalam
mengambil ikan dibatasi pada alat tangkap yang dapat menjamin kelestarian ikan.
Sanksi juga berlaku untuk pengambilan yang menggunakan racun, putas, setrum,
dan bahan peledak. Bagi masyarakat, bukan hanya denda adat dan sanksi sosial
yang membuat mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larangan,
tetapi berkaitan dengan kepercayaan adanya bahaya bagi mereka yang
mengambilnya. Melalui kesepakatan bersama sebuah lubuk larangan lalu
dibuka, dipanen dan hasilnya digunakan untuk keperluan masyarakat tertentu.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larangan
merupakan tradisi turun temurun masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai ekonomi, ternyata lubuk larangan juga
menyimpan kearifan lokal. Melalui lubuk larangan komunitas
setempat mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya alam secara komunal.
Konsep ini cenderung mengurangi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya
alam, khususnya sungai. Dengan mengelola lubuk larangan masyarakat
desa mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital)
di antara merekadalam format pengelolaan sumberdaya “milik bersama”. Itu juga
menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara arif
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan. Hal
ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
Beranjak dari pemikiran di atas, kiranya penting untuk
menangkap secara utuh pesan pengelolaan lubuk larangan oleh
masyarakat itu. Pada dasarnya, itu merupakan cerminan masyarakat yang mampu
mengatur diri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan
secara bersama. Sikap inilah yang sesungguhnya menjadi dasar bagi otonomi desa.
Dengan sikap ini mereka mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial
dalam sistem pengelolaan lubuk larangan
II. Implementasi Lubuk Larangan
Lubuk
larangan dapat dikatakan sebagai aktualisasi perilaku ekologis masyarakat. Implementasi perilaku ekologis tersebut dapat
dilihat dari 4 hal yaitu :
1.
Kemampuan membagi wilayah
pengelolaan perairan berdasarkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial;
2.
Kemampuan melakukan pengambilan
keputusan secara kolektif sehingga berimplikasi pada aspek psikis masyarakat untuk memiliki
bersama dan mentaati setiap keputusan
bersama;
3.
Kemampuan membangun mekanisme
penegakkan hukum yang efektif
meminimalisir pelanggaran dan meredam konflik secara damai, dan
4.
Kemampuan melakukan
sosialisasi dengan baik sehingga tidak hanya masyarakat yang mengetahui
peraturan lubuk larangan yang mematuhinya, namun masyarakat di luarpun
mengetahui, menghargai dan ikut mentaati kesepakatan lokal tersebut.
Lubuk
larangan kemudian dibagi dalam tiga (3) zona, yakni zona inti, zona penyangga
dan zona pemanfaatan. Pembagian zonasi pada lubuk larangan sejalan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007
tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan. Dimana lubuk
larangan termasuk salah satu kawasan konservasi
sumberdaya ikan dalam upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan,
termasuk ekosistem, jenis dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Lubuk
larangan kemudian tidak semata-mata hanya memperhatikan nilai ekologi dari
sumberdaya sungai tapi juga nilai ekonomi dan nilai sosialnya.
Zona
inti
dalam hal ini merupakan zona yang lebih banyak berfungsi secara ekologi atau bersifat konservasi (perlindungan dan
pelestarian sumberdaya) yang diperuntukkan
bagi perkembangbiakan ikan dan tidak boleh diganggu/ dimanfaatkan selama dalam
masa pengelolaan lubuk larangan. Sementara
Zona penyangga merupakan zona pembatas antara zona inti. Pemanfaatan lebih
ditujukan untuk memenuhi nilai ekonomi dan nilai
sosial. Pada zona ini diberlakukan buka tutup lubuk dengan
aturan yang disepakati bersama.
Nilai sosial tercermin jelas dalam mekanisme pengelolaan zona penyangga
terutama ketika pelaksanaan buka lubuk. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
dan penutupan sarat akan semangat
kebersamaan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas. Begitupun dalam
penggunaan uang hasil pembukaan lubuk, diperuntukkan bagi pembangunan
fasilitas-fasilitas sosial seperti masjid
dan infrastruktur lainnya dan kegiatan-kegiatan sosial budaya
misalnya penyelenggaraan acara adat perayaan idul fitri.
Pada zona pemanfaatan masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya
sungai kapan saja namun dengan peralatan dan
tatacara yang telah disepakati bersama.
Mekanisme
pengambilan keputusan dalam lubuk larangan dilakukan dengan secara kolektif berdasarkan prinsip partisipatif
dan representatif. Pengambilan keputusan ini terkait dengan mekanisme
pengelolaan, mekanisme penegakkan aturan dan penentuan sanksi atas setiap pelanggaran yang terjadi.
Keputusan kolektif yang pada dasarnya merupakan kesepakatan lokal
ini merupakan pedoman dan payung
hukum informal bagi perilaku ekologis masyarakat.
Keputusan
bersama dalam hal pengelolaan lubuk
terkait dengan waktu
buka tutup lubuk, aturan
dalam buka tutup
lubuk, distribusi hak, dan mekanisme
pengawasan dan pemberian sanksi. Waktu buka tutup dapat dibuat seperti pada
saat menjelang Bulan Ramadhan atau hari-hari sakral lainnya. Sedangkan alat
tangkap yang diijinkan adalah alat tangkap ikan yang ramah lingkungan (tidak
merusak) seperti serok, pancing dan jala. Semua
jenis ikan boleh
diambil sepanjang ikan tersebut
ada di zona penyangga dan zona pemanfaatan. Dengan dibatasinya jenis alat tangkap maka diharapkan
ikan-ikan kecil tidak ikut terjaring. Peserta buka lubuk
tidak hanya masyarakat lokal, masyarakat tetangga pun dapat berpartisipasi. Hasil
panen dimanfaatkan untuk pembangunan kawawan sekitar seperti perbaikan jalan, mesjid dan mushala,
kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan
pemuda dan pembelian benih ikan untuk restocking.
Pada zona inti semua warga tidak boleh memanfaatkan sumberdaya wilayah tersebut baik itu berupa ikan maupun biota lainnya. Zona inti
benar-benar diperuntukan sebagai wilayah konservasi.
III. Pengelolaan Lubuk Larangan
Pengelolaan
lubuk larangan yang efektif dan efisien adalah ketika diserahkan kepada
Pokmaswas. Pokmaswas adalah kelompok masyarakat pengawas dengan sistem
pengawasan melekat berbasis masyarakat yang beranggotakan setiap unsur masyarakat serta melibatkan tokoh
agama dan tokoh
pemuda. Pengelolaan ini
diantaranya terkait dengan penentuan dan mekanisme buka tutup lubuk, penetapan
jenis sanksi atas setiap pelanggaran, serta berbagai kebijakan sesuai dengan
kebutuhan dalam rangka mengembangkan lubuk larangan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Selain
itu secara umum peran Pokmaswas dalam pengelolaan lubuk larangan adalah :
1.
Mengawasi sumber daya perikanan
di lokasi khusus lubuk larangan yang telah disepakati dan perairan secara umum
2.
Melaporkan adanya dugaan tindak
pidana perikanan kepada pihak yang berwenang seperti PPNS pada Dinas Perikanan atau
Polisi/Polisi Perairan
3.
Sebagai jaringan informasi bagi
aparat penegak hukum/petugas berwenang
4.
Tidak melakukan tindakan main
hakim sendiiri dan/atau anarkis terhadap dugaan tindak pelanggaran perikanan
5.
Menghindari tindakan refresif
yang melanggar hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous. 2011. 6
Species Ikan di Sungai Brantas Hilang. http://regional.kompas. com/read/2011/07/18/21395570/6. Diakses Tanggal
24 Mei 2018.
Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakartaa
Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009. Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta
No comments:
Post a Comment