Monday, March 23, 2020

LUBUK LARANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM






I.         Pendahuluan

Sumberdaya perikanan tidak hanya mempunyai nilai ekonomi tapi juga memiliki nilai ekologi dan nilai sosial. Ketiga nilai ini saling terikat dan saling mempengaruhi dan turut andil dalam menciptakan perilaku manusia terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan. Keberadaan sumberdaya sejatinya memang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, insting manusia yang cenderung mementingkan tujuan dan keinginan sesaat sering melahirkan perilaku yang lebih mementingkan nilai ekonomi ketimbang nilai ekologi dan nilai sosialnya. Padahal, dalam jangka waktu panjang, hilangnya salah satu nilai tersebut akan mengurangi nilai-nilai yang lain.

Salah satunya penyebab kerusakan sumberdaya perikanan adalah prilaku destruktif masyarakat baik dalam pemanfaat sumberdaya tersebut. Perilaku destruktif ini ditunjang oleh semakin majunya peradaban manusia dalam menciptakan teknologi yang dibungkus dengan kampanye modernisasi. Hilangnya beberapa species ikan di Sungai Brantas yang semula terdapat 17 species ikan air tawar pada tahun 2009 menjadi 11 species di tahun 2011 diindikasikan disebabkan oleh menurunnya kualitas air sungai dan berkurangnya habitat ideal bagi ikan (Anonymous, 2011).   Menurunnya kualitas air sungai menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah habitat ideal bagi ikan, selain rusaknya fisik sungai.

Hal sama terjadi di Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung, Hadiaty (2010) mengungkapkan bahwa species ikan yang berada di DAS Ciliwung dari hulu sampai hilir sudah mulai punah. Dari 187 jumlah species yang tersisa kini hanya 15 species. Sedangkan di DAS Cisadane dari 135 jenis ikan yang ada kini hanya tinggal 38 jenis saja.



Kondisi ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat  pemanfaat  sungai  baik  di  daerah aliran  sungai  maupun  yang  jauh  dari  daerah aliran sungai seperti aktifitas penambangan pasir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, dll. Selain itu political will yang bias darat menyebabkan daerah aliran sungai tidak menjadi prioritas pembangunan.

Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat bahwa menurunnya kualitas sumberdaya sungai disebabkan oleh perilaku masyarakat yang cenderung hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi terhadap sungai tersebut. Padahal, selain manusia adalah homo economicus, perlu disadari bahwa manusia pun secara fitrahnya merupakan homo socius dan homo ecologicus.  Perilaku yang mempertimbangkan keseimbangan antara pemenuhan kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial merupakan hal yang penting agar pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tidak hanya mampu mememuhi kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan mental spiritual, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Pengelolaan sumberdaya perikanan hendaknya mengarah pada pelestarian sumberdaya hayati sungai seperti perlindungan ikan dan ekosistem di sekitar sungai. Sehingga, masyarakat digiring untuk berprilaku ekologis terhadap sungai. Dalam perkembangannya, masyarakat tidak hanya mendapatkan keuntungan ekologis      berupa bertambahnya populasi dan keragamanan ikan, namun mereka pun mendapatkan mata pencaharian alternatif baru sebagai penyedia jasa pariwisata, dan yang sangat penting adalah terjalinnya kohesifitas sosial yang semakin erat.  Mekanisme pengelolaan sungai tersebut dikenal dengan nama “lubuk larangan”. Lubuk Larangan dibentuk atau ditetapkan sebagai bentuk kepedulian masyarakat setempat terhadap keberadaan sumber daya air, terutama sungai  sebagai  habitat  biota perairan.

Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di sungai, telaga, atau laut”2, sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini ditambah dengan akhiran -an akan menjadi kata ”larangan”. Aturan lubuk larang atau lubuk larangan mengartikan sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan bertelur, dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas dasar kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat mengartikannya sebagai suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam masa tertentu. Aturan juga menyebutkan, peralatan yang digunakan dalam mengambil ikan dibatasi pada alat tangkap yang dapat menjamin kelestarian ikan. Sanksi juga berlaku untuk pengambilan yang menggunakan racun, putas, setrum, dan bahan peledak. Bagi masyarakat, bukan hanya denda adat dan sanksi sosial yang membuat mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larangan, tetapi berkaitan dengan kepercayaan adanya bahaya bagi mereka yang mengambilnya. Melalui kesepakatan bersama sebuah lubuk larangan lalu dibuka, dipanen dan hasilnya digunakan untuk keperluan masyarakat tertentu.

Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larangan merupakan tradisi turun temurun masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai ekonomi, ternyata lubuk larangan juga menyimpan kearifan lokal. Melalui lubuk larangan komunitas setempat mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini cenderung mengurangi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, khususnya sungai. Dengan mengelola lubuk larangan masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara merekadalam format pengelolaan sumberdaya “milik bersama”. Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan. Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Beranjak dari pemikiran di atas, kiranya penting untuk menangkap secara utuh pesan pengelolaan lubuk larangan oleh masyarakat itu. Pada dasarnya, itu merupakan cerminan masyarakat yang mampu mengatur diri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang sesungguhnya menjadi dasar bagi otonomi desa. Dengan sikap ini mereka mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan lubuk larangan



  

II.      Implementasi Lubuk Larangan

Lubuk larangan dapat dikatakan sebagai aktualisasi perilaku ekologis masyarakat.  Implementasi perilaku ekologis tersebut dapat dilihat dari 4 hal yaitu :

1.    Kemampuan membagi wilayah pengelolaan perairan berdasarkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial;

2.    Kemampuan melakukan pengambilan keputusan secara kolektif sehingga berimplikasi pada aspek psikis masyarakat untuk memiliki bersama dan mentaati setiap keputusan bersama;

3.    Kemampuan membangun mekanisme penegakkan hukum yang efektif meminimalisir pelanggaran dan meredam konflik secara damai, dan

4.    Kemampuan  melakukan  sosialisasi dengan baik sehingga tidak hanya masyarakat yang mengetahui peraturan lubuk larangan yang mematuhinya, namun masyarakat di luarpun mengetahui, menghargai dan ikut mentaati kesepakatan lokal tersebut.

Lubuk larangan kemudian dibagi dalam tiga (3) zona, yakni zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Pembagian zonasi pada lubuk larangan sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dimana   lubuk   larangan   termasuk   salah satu kawasan konservasi sumberdaya ikan dalam upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya   ikan,   termasuk   ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Lubuk larangan kemudian tidak semata-mata hanya memperhatikan nilai ekologi dari sumberdaya sungai tapi juga nilai ekonomi dan nilai sosialnya.

Zona  inti dalam hal ini merupakan zona yang lebih banyak berfungsi  secara ekologi atau bersifat konservasi (perlindungan dan pelestarian sumberdaya) yang diperuntukkan bagi perkembangbiakan ikan dan tidak boleh diganggu/ dimanfaatkan selama dalam masa pengelolaan lubuk larangan. Sementara Zona penyangga merupakan zona pembatas antara zona inti. Pemanfaatan lebih ditujukan untuk memenuhi nilai ekonomi dan nilai sosial. Pada zona ini diberlakukan buka tutup lubuk dengan aturan yang disepakati bersama.

Nilai sosial tercermin jelas dalam mekanisme pengelolaan zona penyangga terutama ketika pelaksanaan buka lubuk. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan    penutupan sarat akan semangat kebersamaan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas. Begitupun dalam penggunaan uang hasil pembukaan lubuk, diperuntukkan bagi pembangunan fasilitas-fasilitas sosial  seperti  masjid  dan  infrastruktur  lainnya dan kegiatan-kegiatan sosial budaya misalnya penyelenggaraan acara adat perayaan idul fitri. Pada zona pemanfaatan masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya sungai kapan saja namun dengan peralatan dan tatacara yang telah disepakati bersama.

Mekanisme pengambilan keputusan dalam lubuk larangan dilakukan dengan  secara kolektif berdasarkan prinsip partisipatif dan representatif. Pengambilan keputusan ini terkait dengan mekanisme pengelolaan, mekanisme penegakkan aturan dan penentuan sanksi atas setiap pelanggaran yang terjadi. Keputusan kolektif yang pada dasarnya merupakan kesepakatan lokal ini merupakan pedoman dan payung hukum informal bagi perilaku ekologis masyarakat.

Keputusan bersama dalam hal pengelolaan lubuk  terkait  dengan  waktu  buka  tutup  lubuk, aturan  dalam  buka  tutup  lubuk,  distribusi  hak, dan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi. Waktu buka tutup dapat dibuat seperti pada saat menjelang Bulan Ramadhan atau hari-hari sakral lainnya. Sedangkan alat tangkap yang diijinkan adalah alat tangkap ikan yang ramah lingkungan (tidak merusak) seperti serok, pancing dan jala.  Semua  jenis  ikan  boleh  diambil  sepanjang ikan tersebut ada di zona penyangga dan zona pemanfaatan. Dengan dibatasinya jenis alat tangkap  maka  diharapkan  ikan-ikan  kecil  tidak ikut terjaring. Peserta buka lubuk tidak hanya masyarakat lokal, masyarakat tetangga pun dapat berpartisipasi. Hasil panen dimanfaatkan untuk pembangunan kawawan sekitar seperti perbaikan jalan, mesjid dan mushala, kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan pemuda dan pembelian benih ikan untuk restocking. Pada zona inti semua warga tidak boleh memanfaatkan sumberdaya wilayah tersebut baik itu berupa ikan maupun biota lainnya. Zona inti benar-benar diperuntukan sebagai wilayah konservasi.



  

III.   Pengelolaan Lubuk Larangan

Pengelolaan lubuk larangan yang efektif dan efisien adalah ketika diserahkan kepada Pokmaswas. Pokmaswas adalah kelompok masyarakat pengawas dengan sistem pengawasan melekat berbasis masyarakat yang beranggotakan setiap unsur masyarakat serta melibatkan tokoh  agama  dan  tokoh  pemuda.  Pengelolaan ini diantaranya terkait dengan penentuan dan mekanisme buka tutup lubuk, penetapan jenis sanksi atas setiap pelanggaran, serta berbagai kebijakan sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mengembangkan lubuk larangan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Selain itu secara umum peran Pokmaswas dalam pengelolaan lubuk larangan adalah :

1.    Mengawasi sumber daya perikanan di lokasi khusus lubuk larangan yang telah disepakati dan perairan secara umum

2.    Melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan kepada pihak yang berwenang seperti PPNS pada Dinas Perikanan atau Polisi/Polisi Perairan

3.    Sebagai jaringan informasi bagi aparat penegak hukum/petugas berwenang

4.    Tidak melakukan tindakan main hakim sendiiri dan/atau anarkis terhadap dugaan tindak pelanggaran perikanan

5.    Menghindari tindakan refresif yang melanggar hukum.



  

DAFTAR PUSTAKA



Anonymous. 2011. 6 Species Ikan di Sungai Brantas Hilang.    http://regional.kompas. com/read/2011/07/18/21395570/6. Diakses Tanggal 24 Mei 2018.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakartaa

Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta

No comments:

Post a Comment