Indonesia sebagai negara kepulauan yang sebagian besar
wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan
beragam (UU No.45/2009). Potensi perikanan yang dimiliki merupakan sumber
pendapatan negara disamping menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar
masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan (Hermawan, 2006). Hal ini dapat
dilihat dari sumbangan sektor
perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp.148,16
triliun atau memberikan kontribusi 3,14% pada tahun 2010 (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, 2011). Selain itu, produk perikanan yang merupakan bahan makanan
penting masyarakat pada umumnya, konsumsi domestiknya terus mengalami
peningkatan sebesar 8,87% pertahun dari tahun 2007-2011 (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, 2011). Atas dasar inilah perikanan perlu dipertahankan
keberlanjutannya.
Perikanan tangkap yang merupakan usaha
menangkap ikan di perairan, sangat tergantung pada ketersediaan atau daya
dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pada masa lampau rekomendasi
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya didasarkan
pada hasil maksimum yang lestari (Hermawan, 2006). Konsep ini terfokus pada
aspek ekonomi dengan menguras sumberdaya ikan tanpa mempertimbangkan aspek
sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan. Menurut Fauzi dan Buchary (2002) bahwa
praktek perikanan yang unsustainable di Indonesia menimbulkan
kerugian negara mencapai US$ 386.000/tahun atau 4 kali lebih besar dari manfaat
yang diterima. Demikian juga yang terjadi terhadap 40.000 nelayan Atlantik
Canada yang kehilangan pekerjaan karena penurunan drastis stok ikan cod di
perairan Barat Daya Atlantik pada tahun 1990. Dari kasus-kasus tersebut jelas
bahwa sebagai modal kerja, teknologi juga akan menentukan apakah pendapatan dan
keuntungan dari usaha perikanan tangkap akan mendukung kesejahteraan komunitas
secara berkelanjutan.
Kode etik perikanan yang bertanggung jawab
yang diperkenalkan FAO mengisyaratkan perlu dianalisis
faktor ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan (FAO,
1999). Ekologi mencakup pemeliharaan keberlanjutan
stok/biomas, meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem. Dalam hal
ekonomi, usaha perikanan tangkap dapat memberikan keuntungan dan pendapatan
bagi pelaku usaha. Secara sosial tidak menimbulkan konflik dan terdapat
hubungan emosional yang baik antara sumberdaya, ekosistem dan pelaku. Teknologi
yang digunakan dalam usaha penangkapan harus ramah lingkungan. Secara hukum dan
kelembagaan terdapat peaturan perundangan yang jelas dalam menjalankan usaha
serta terbina kelembagaan usaha yang baik dan sehat. Hal ini sejalan
dengan pembangunan berkelanjutan perikanan menurut UU No.45/2009, yakni
pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan
kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi
lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Keberlanjutan perikanan tangkap saat
ini harus dilihat secara lengkap, tidak sekedar tingkat penangkapan
perikanan tangkap atau biomas, tetapi aspek-aspek lain perikanan, seperti
ekologi, struktur sosial ekonomi, komunitas nelayan dan pengelolaan
kelembagaannya. Keberlanjutan ekologi menyangkut bagaimana memelihara
keberlanjutan stok/biomass dan meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem.
Keberlanjutan sosio-ekonomi menyangkut kesejahteraan pelaku perikanan pada
tingkat individu dan kelompok. Keberlanjutan komunitas menyangkut keberlanjutan
kesejahteraan komunitas dan keberlanjutan kelembagaan menyangkut pemeliharaan
aspek finansial dan administrasi yang sehat. Kegiatan perikanan yang hanya
mengutamakan salah satu aspek saja dan mengabaikan aspek-aspek perikanan
lainnya akan menimbulkan ketimpangan yang mengakibatkan ketidakberlanjutan
perikanan itu sendiri.
Status keberlanjutan perikanan merupakan hal penting yang sangat
diperlukan dalam penentuan berbagai kebijakan perikanan ke depan. Keberlanjutan
perikanan tangkap penting diketahui para stakeholder baik
untuk para pelaku usahanya maupun masyarakat luas serta untuk kepentingan
negara. Oleh karenanya keberlanjutan perikanan merupakan tantangan mengingat
produk perikanan menjadi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang (intertemporal)
sehingga tingkat pemanfaatan akan terus meningkat sejalan dengan tingkat
kebutuhan konsumsi lokal dan global. Di sisi lain stok sumberdaya ikan
dibeberapa lokasi semakin terbatas sekalipun sumberdaya ikan bersifat dapat
pulih (renewable). Ketimpangan dan ketidakberlanjutan sumberdaya dapat
terjadi apabila pemanfaatannya melampaui kapasitas atau karena kegiatan
perikanan yang hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek
lainnya. Dengan demikian status keberlanjutan perikanan tangkap harus dikaji
secara komprehensif yang mencakup berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut
diantaranya aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan aspek
hukum-kelembagaan.
Daftar Pustaka
Hermawan,M.2006. Keberlanjutan
Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan
Tegal. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
FAO,1999. Rapfish; A
Rapid Appraisal Technique for Fisheries, And ist Application To The Code of
Conduct For Responsible Fisheries.Rome.
Fauzi, A and E. Buchary.
2002. A Socio-economic Perspective of environmental degradation at
Kepulauan Seribu National Park, Indonesia. Coastal Management
Journal Vol 30(2). 167-181.
Kementerian Kelautan dan
Perikanan.2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta
Undang-Undang No.45 tahun 2009. Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta
No comments:
Post a Comment