PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan
berkelanjutan
adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb)
yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987). Menurut Emil Salim (1990) dalam Jaya (2004) pembangunan berkelanjutan bertujuan
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Pembangunan yang
berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk mencari pemerataan pembangunan
antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang.
Pembangunan
berkelanjutan terdiri dari pilar
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Idealnya,
ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi fokus
pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Ketiga pilar itu harus menjadi bahan pertimbangan dalam setiap kegiatan pembangunan berkelanjutan. Apabila ketiga pilar
ini dilaksanakan secara menyeluruh maka
tujuan pembangunan berkelanjutan akan tercapai.
Dalam
perkembangannya semakin disadari bahwa pembangunan berkelanjutan
tidak hanya terkait dengan pilar lingkungan hidup, namun juga pembangunan
ekonomi dan sosial. Lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat buruk. Pengentasan
kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan
berkelanjutan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit
akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik. Hal ini
sejalan dengan yang disampaikan Sarosa dalam buku “Bunga Rampai
Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) pada
era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap
Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun
dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap
tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan
ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan
sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup
pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat (Dewan Redaksi, 2009) .
Pembangunan
berkelanjutan adalah sebagai upaya manusia untuk memperbaiki mutu kehidupan
dengan tetap berusaha tidak melampaui ekosistem yang mendukung kehidupannya.
Dewasa ini masalah pembangunan berkelanjutan telah dijadikan sebagai isu
penting yang perlu terus di sosialisasikan ditengah masyarakat (Jaya, 2004). Hal ini dilakukan dengan harapan setiap orang dapat
memahami dan berperan dalam upaya implementasi pembangunan berkelanjutan.
Maksud Dan Tujuan
Maksud penulisan
makalah ini adalah untuk menyajikan keterkaitan antara aspek sosial, ekonomi,
lingkungan, dan kelembagaan. Adapun indikator yang dibahas untuk masing-masing
aspek secara berurutan adalah persen penduduk di bawah garis kemiskinan, luas lahan
subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi
pembangunan berkelanjutan nasional.
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sebagai upaya
menurunkan angka persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Dalam
pelaksanaanya, pengentasan kemiskinan ini terkait dan saling mempengaruhi
dengan indikator lain yaitu luas lahan budidaya perikanan subur dan permanen,
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan
nasional.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan harus senantiasa mempertimbangkan
aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan mengingat semuanya itu
saling terkait satu sama lain serta saling mendukung. Apabila kita mengabaikan
salah satu pilar maka tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut niscaya tidak
akan tercapai.
Sosok
final dari konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum terlihat jelas.
Namun proses menuju pelaksanaan pembangunan berkelanjutan meliputi
tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik telah dilaksanakan sejak
didirikannya kelembagaan lingkungan hidup pada tahun 1978. Elemen-elemennya
antara lain:
1.
Kebijakan konservasi dan diversifikasi
energi, ke arah pengurangan penggunaan energi fosil dan makin dominannya
penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan.
2.
Kebijakan kependudukan untuk menahan laju
pertumbuhan penduduk sampai ke tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan
sumber daya alam dan dapat terlayani baik oleh fasilitas publik di bidang
kesejahteraan rakyat.
3.
Kebijakan spatial untuk menjamin
penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai kegiatan ekonomi manusia dapat
berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur fisik yang memadai,
sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di perairan untuk
konservasi sumber daya alam.
4.
Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya
hidup hemat, bersih dan sehat, sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin
dengan menghindarkan pemborosan energi, material dan mengurangi tindakan medik
kuratif.
5.
Kebijakan pengendalian kerusakan dan
pencemaran lingkungan untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia akan
air bersih, udara bersih, sumber-sumber makanan dan pencegahan bencana.
6.
Kebijakan di bidang hukum, informasi,
pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan dan lainnya untuk menunjang
hal-hal di atas.
Usaha untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan
disertai upaya pelestarian lingkungan hidup melalui pendekatan pembangunan
berkelanjutan merupakan salah satu fokus pembangunan nasional dewasa ini.
Melalui pembangunan berkelanjutan, diharapkan pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan hidup dapat berjalan secara harmonis dan terpadu
(Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas).
Dalam pembangunan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan masih menjadi
tantangan besar bagi pembuat keputusan kebijakan. Lebih jauh lagi, untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
maka sebuah sudut pandang yang integratif harus sekaligus
memperhitungkan isu-isu pembangunan, penggunaan sumber daya dan kualitas
lingkungan, dan kesejahteraan manusia.
Kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan
pembangunan berkelanjutan dan hanya kalangan publik yang cukup makmur yang mampu
mengatasi problem lingkungan (Irza, 2009). Keterbatasan
lapangan kerja dan daya dukung lingkungan mengakibatkan tumbuhnya
kemiskinan. Tansisi demografi yang terjadi di dunia ketiga menyebabkan terjadinya
urbanisasi secara besar-besaran. Fenomena tersebut dapat ditemukan di kota-kota
besar di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Jumlah penduduk
yang sangat berbeda jauh antara kota besar dengan kota kecil.
Berdasarkan
hal di atas, kemiskinan menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan
dari pembangunan berkelanjutan. Mengingat hanya kalangan publik yang cukup
mampu yang bisa menghindar dari problem lingkungan. Misalnya mereka dapat memilih bahan pangan organik, produk ramah
lingkungan, dan penggunaan energi alternatif. Ini disebabkan produk-produk
tersebut masih tergolong mahal sehingga hanya masyarakat mampu yang dapat
membelinya.
Agenda 21 Indonesia sebagai Strategi Pembagunan
Berkelanjutan Nasional Indonesia, memuat agenda pelayanan masyarakat pada
dasarnya merupakan perwujudan prinsip-prinsip sosial ekonomi pembangunan
berkelanjutan. Agenda pelayanan masyarakat yang ditetapkan sebagai agenda
pertama dan ini menyiratkan bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia memang diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi, tanpa
mengabaikan dimensi lain. Salah satu sub-agenda pelayanan masyarakat adalah pengentasan
kemiskinan.
Melalui pengentasan kemiskinan diharapkan persen
penduduk di bawah garis kemiskinan akan terus berkurang. Keberhasilan
pengentasan kemiskinan akan berpengaruh terhadap luas lahan budidaya perikanan
subur dan permanen, serta PDB yang dihasilkan. Kesemuanya itu akan lebih
terarah dengan adanya strategi pembangunan berkelanjutan.
.
Pilar Sosial : Persen Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan
Persen Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan didefinisikan sebagai proporsi
penduduk dengan standar hidup di bawah garis kemiskinan. Ini diperlukan
untuk penilaian secara keseluruhan kemajuan suatu negara dalam pengentasan
kemiskinan dan/atau evaluasi kebijakan/proyek
tertentu. Garis kemiskinan ini merupakan
batas pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal kalori yang
diperlukan tubuh untuk beraktivitas, ditambah dengan kebutuhan non-makanan
(perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transpor dan kebutuhan pokok
lainnya).
Penduduk di bawah garis kemiskinan dikenal juga dengan istilah
prasejahtera yang artinya penduduk yang hidup di bawah standar hidup layak.
Metode yang digunakan untuk mengukur standar kehidupan individu adalah konsumsi per setara pria dewasa dan Undernutrition. Ada beberapa pendekatan
untuk menentukan garis kemiskinan yaitu :
-
Garis kemiskinan absolut : garis kemiskinan dalam
kaitannya dengan indikator standar hidup yang digunakan (konsumsi, nutrisi).
Relevan untuk negara-negara berpenghasilan rendah. Pengukuran garis kemiskinan
absolut sangat penting jika orang mencoba menilai efek dari kebijakan anti
kemiskinan, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek (misalnya pemberian
kredit skala kecil) terhadap kemiskinan.
-
Garis kemiskinan relatif : garis kemiskinan akan
cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Relevan untuk
negara-negara berpenghasilan tinggi.
Kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan
pembangunan berkelanjutan dan hanya kalangan publik yang cukup makmur yang
mampu mengatasi problem lingkungan. Kemiskinan mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan. Mereka
yang tidak mampu membeli lahan akan menggunakan kawasan yang
berfungsi lindung untuk dijadikan lahan budidaya perikanan atau untuk
membangun tempat tinggal. Kawasan lindung yang dimaksud antara lain bantaran
sungai, hutan kota, rawa, dan lain-lain. Sehingga para pakar lingkungan di
negara maju menilai bahwa penurunan daya dukung lingkungan yang terjadi di
dunia disebabkan oleh fenomena kemiskinan yang tidak kunjung berakhir di negara
berkembang.
Penentuan garis kemiskinan ini selain dilihat dari kemampuan memenuhi
kebutuhan minimal kalori juga kemampuan memenuhi kebutuhan non-makanan misalnya
pendidikan dan kesehatan. Penduduk di bawah garis kemiskinan pada umumnya
memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, ini sangat berpengaruh
terhadap SDM. Seperti kita ketahui SDM merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi produksi, dengan demikian secara langsung atau pun tidak langsung
persen penduduk di bawah garis kemiskinan mempengaruhi pencapain PDB.
Dengan demikian, maka persen penduduk di bawah garis kemiskinan perlu
terus diturunkan karena indikator ini
akan mempengaruhi kualitas lingkungan, dan
PDB. Ini sesuai dengan strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang
menempatkan pengentasan kemiskinan sebagai sub-agenda pertama yang artinya
bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memang
diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi tetapi tidak mengabaikan dimensi lain.
Pilar Lingkungan : Area Lahan Budidaya
perikanan
Indikator ini menunjukan jumlah lahan yang tersedia untuk kegiatan
produksi budidaya perikanan . Tanah yang ditinggalkan peladang berpindah tidak
termasuk dalam kategori ini. Data untuk tanah subur tidak dimaksudkan
untuk menunjukkan jumlah lahan yang berpotensi ditanami. Lahan
di bawah tanaman permanen adalah tanah ditanami dengan tanaman yang menempati
tanah untuk waktu yang lama dan tidak perlu ditanam kembali setelah setiap
panen tetapi tidak termasuk tanah di bawah tegakan
kayu. Data ini terkait dengan data lain seperti populasi, total
lahan, penggunaan pupuk, dan pestisida yang digunakan.
Meningkatnya kepadatan penduduk di pedesaan mengakibatkan berkurangnya lahan
budidaya perikanan. Petani kecil dipaksa untuk memperluas lahan budidaya ke
daerah-daerah baru, yang labil dan tidak cocok untuk budidaya. Intensifikasi
tanaman, dilakukan agar dapat mengurangi tekanan pada tanah-tanah baru budidaya
tetapi mengadopsi praktek-praktek budidaya perikanan mengakibatkan kerusakan
lingkungan hidup (seperti penggunaan bahan kimia) agar mencapai hasil panen
yang lebih banyak.
Penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 220 juta jiwa, dengan laju
pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan terkonsentrasi di Jawa mendorong laju alih
fungsi lahan semakin tinggi dan Jawa menjadi tereksploitasi berlebihan yang
tercermin dari luas pemilikan lahan rata-rata yang terus menciut. Di Jawa luas
kepemilikan hanya 0,3 hektar per KK dan sementara di luar Jawa hanya 1 hektar.
Padahal, kita tahu, menurut hasil analisis ekonomi sederhana, luas kepemilikan
lahan yang ekonomis minimal 2 hektar di Jawa dan lebih dari 10 hektar untuk luar
Jawa (Apriantono,2008).
Indonesia sebagai negara agraris menempatkan budidaya perikanan penyumbang PDB yang cukup besar. Maka dari
itu apabila lahan budidaya perikanan terus berkurang, besar kemungkinan PDB
yang dihasilkan juga akan menurun. Selain berdampak pada PDB, berkurangnya
lahan budidaya perikanan juga berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk baik
langsung maupun tidak langsung.
Secara
umum penduduk yang terlibat di sektor budidaya perikanan dapat dibedakan
menjadi petani usaha dan petani buruh. Petani usaha mengandalkan pendapatannya
dari hasil budidaya perikanan yang dijualnya sedangkan buruh tani mengandalkan
pendapatannya dari upah yang dibayar oleh petani usaha. Dalam hubungan ini
terlihat bahwa petani usaha memiliki resiko atas apa yang diusahakannya
sedangkan buruh tani tidak memiliki resiko. Dalam hal pendapatan, petani usaha
memiliki pendapatan yang fluktuatif sesuai hasil dan harga yang diterimanya,
sedangkan buruh tani cenderung stabil pada kisaran angka tertentu. Pendapatan
usaha tani sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu hasil budidaya perikanannya
dan harga atas hasil budidaya perikanannya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ketersediaan
lahan budidaya perikanan berpengaruh terhadap PDB, kesejahteraan penduduk, dan
lingkungan. Maka dari itu untuk menjamin terlaksananya pembangunan
berkelanjutan perlu adanya strategi nasional yang menjamin kepastian luas lahan
budidaya perikanan agar sektor budidaya perikanan dapat terus perperan dalam
PDB, kesejahteraan penduduk, dan kelestarian lingkungan.
Pilar Ekonomi : Produk
Domestik Bruto (PDB) per Kapita
PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang
diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per
tahun). PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa
memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi
dalam negeri atau tidak (wikipedia).
Relevansi PDB dengan
pembangunan berkelanjutan, dengan mengalokasikan total produksi untuk setiap
unit populasi akan diketahui sejauh mana tingkat output individu memberikan kontribusi untuk proses pembangunan
dapat diukur. Hal ini mengindikasikan laju pertumbuhan pendapatan per kapita
dan juga tingkat sumber daya yang digunakan. Sebagai kondisi yang diperlukan
untuk menjadi indikator kinerja ekonomi utama pembangunan berkelanjutan, salah
satu yang sering dikutip keterbatasan dari PDB adalah bahwa ia tidak
memperhitungkan lingkungan sosial dan biaya produksi.
Sebagai contoh, pada bidang kehutanan nilai PDB hanya menunjukkan
kontribusi produk kehutanan yang dipasarkan. Nilai penurunan kesejahteraan
masyarakat akibat berkurangnya luas hutan tidak mampu direpresentasikan oleh
PDB. Meningkatnya kemungkinan masyarakat tertimpa banjir akibat pepohonan
berkurang atau berkurangnya sumber daya hayati yang dimiliki hutan tidak
terjelaskan dalam PDB.
Usaha untuk memasukkan unsur lingkungan dalam perhitungan PDB telah
dirintis sejak tahun 1995, namun masih ada beberapa hambatan dalam
penerapannya, antara lain:
1. Belum ada ketentuan yang mengatur implementasi PDB
Hijau dalam skala nasional. Sampai dengan saat ini PDRB Hijau masih dalam taraf
kajian, belum menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan
sektoral;
2. Keterbatasan metodologi dalam mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena
pembangunan.
Indikator yang selama ini digunakan untuk mengukur keberhasilan
pembangunan lebih ditekankan pada besaran pendapatan per kapita penduduk. Salah
satu indikator umum yang lazim digunakan adalah angka PDB per jumlah penduduk.
Apabila ukuran tersebut dipakai untuk mengukur perkembangan ekonomi jangka
panjang, cakupan komponen perhitungan PDB tersebut harus diperluas dengan
memperhitungkan adanya tingkat penipisan (deplisi) sumber daya alam dan
degradasi lingkungan (Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas). Dalam
penggunaan PDB sebagai indikator pembangunan berkelanjutan, PBB bekerja sama
dengan Bank Dunia, Masyarakat Eropa, IMF, dan OECD telah mengembangkan konsep
perhitungan PDB yang memperhitungkan faktor lingkungan yang disebut System for Integrated Environment and
Economic Accounting.
Pembangunan yang optimal dan berkelanjutan ditandai dengan PDB yang
tinggi serta deplesi SDA dan degradasi lingkungan yang rendah. PDB Hijau
memberikan beberapa manfaat dalam penentuan kebijakan pembangunan, yaitu :
a) Menghindari bias perhitungan penilaian kinerja
pembangunan ekonomi suatu daerah (struktur perekonomian lebih realistis);
b) Mengontrol eksploitasi SDA dan kerusakan
lingkungan;
c) Sebagai masukan dalam penentuan besar pungutan/ganti
rugi kerusakan lingkungan;
d) Menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk
mengelola kelestarian lingkungan.
Target nasional pada
umumnya berorientasi pada prioritas ketersediaan sumber daya alam dan kinerja
ekonomi dalam hal ini PDB yang dihasilkan. PDB sebagai indikator pembangunan
berkelanjutan berhubungan dengan indikator lainnya antara lain persen penduduk
di bawah garis kemiskinan, ketersediaan lahan subur dan permanen, serta
strategi pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan.
Pilar Kelembagaan : Strategi
Pembangunan Berkelanjutan Nasional
Strategi Pembangunan berkelanjutan nasional bertujuan untuk membangun
dan menyelaraskan berbagai sektor ekonomi, sosial, dan kebijakan lingkungan dan
rencana yang ada di suatu negara untuk memastikan tanggung jawab sosial
pembangunan sekaligus melindungi sumber daya alam untuk kepentingan generasi
mendatang. Di Indonesia, hal ini diwujudkan dalam Agenda 21 Indonesia yang
dikeluarkan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Tahun 1997 UNDP telah mendukung pengembangan dan peluncuran Agenda 21 Indonesia – versi lokal dari Agenda 21 Global yang diluncurkan dalam KTT Rio. Agenda 21 mendiskusikan ketergantungan pembangunan sosial dan ekonomi pada kelestarian lingkungan dan meletakkan dasar untuk pengesahan Perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Setelah KTT Johannesburg yang mengkaji ulang Agenda 21 Global, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dengan bantuan UNDP, telah melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks pembangunan berkelanjutan setelah krisis ekonomi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kini meletakkan dasar untuk merancang strategi jangka panjang menuju pencapaian tujuan-tujuan Agenda 21.
Agenda Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan
prinsip-prinsip sosial ekonomi pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, agenda
pelayanan masyarakat yang ditetapkan sebagai agenda pertama dan ini menyiratkan
bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memang
diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi, tanpa mengabaikan dimensi lain. Enam sub-agenda
dirumuskan dalam agenda pelayanan masyarakat di Indonesia , yaitu :
1)
Pengentasan kemiskinan. Penting dicatat di sini bahwa
pendidikan, yang merupakan bagian dari proses pemberdayaan masyarakat secara
keseluruhan, sangat ditekankan dalam dokumen Agenda 21 Indonesia. Berbagai
upaya pengelolaan lingkungan akan kurang efektip dilakukan apabila sebagian
besar masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan, sementara upaya-upaya
pelibatan masyarakat dalam berbagai opsi pengelolaan lingkungan juga tidak akan
efektip tanpa meningkatkan pendidikan dasar masyarakat.
2)
Perubahan pola produksi dan konsumsi. Aspek ini
dipandang perlu mendapat perhatian para pengelola lingkungan di Indonesia,
karena akan menjadi dasar pijak bagi berbagai proyeksi persoalan lingkungan di
Indonesia. Sebagaimana data-data empirik telah menunjukkan pola perubahan
konsumsi masyarakat Indonesia mengindikasikan bahwa proses-proses produksi dan
eksploitasi sumber daya alam di Indonesia akan semakin meningkat. Upaya-upaya
pengelolaan lingkungan harus menyadari bahwa setiap perubahan pola konsumsi
akan membawa implikasi yang luas bagi lingkungan.
3)
Dinamika kependudukan. Ini menjelaskan bahwa di
samping jumlah absolutnya yang tetap tinggi, persoalan kependudukan di
Indonesia meliputi pula persebaran serta kualitas penduduk sebagai sumberdaya
manusia Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia harus melihat bahwa pola
persebaran yang tidak merata ini membawa baik dampak positip maupun negatif
terhadap lingkungan. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan lingkungan di
Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia secara keseluruhan agar berbagai opsi
pengelolaan lingkungan akan menjadi efektif.
4)
Pengelolaan dan peningkatan kesehatan (berhubungan
dengan dinamika penduduk). Subagenda ini menekankan pentingnya upaya-upaya
seperti pembangunan kesehatan dasar khususnya bagi kelompok rentan,
pengendalian penyakit menular, serta pembangunan kesehatan perkotaan dan
pengendalian pencemaran lingkungan.
5)
Pengembangan perumahan dan pemukiman. Fokus agenda ini
menyangkut baik persoalan kuantitatip, yakni jumlah kebutuhan rumah, maupun
persoalan kualitatip dalam arti kondisi lingkungan perumahan. Pengelolaan
lingkungan hidup harus melihat persoalan ini secara seksama oleh karena
implikasi langsungnya terhadap kualitas kesehatan masyarakat.
6)
Sistem terpadu antara perdagangan global, instrumen
ekonomi, serta neraca ekonomi dan lingkungan. Aspek ini dipandang perlu dalam
strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, oleh karena proses gobalisasi
yang terjadi tidak saja mempercepat proses-proses perubahan dan perusakan
lingkungan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pengelolaan lingkungan di
Indonesia harus secara jeli melihat peluang-peluang yang diberikan dalam proses
globalisasi untuk kepentingan lingkungan.
Strategi
pembangunan berkelanjutan nasional penting untuk menentukan arah pembangunan
yang akan dilaksanakan, karena akan sangat mempengaruhi keberhasilan pencapaian
target dari setiap pilar. Dalam hal ini strategi yang baik adalah strategi yang
tidak menitikberatkan pada salah satu aspek atau bahkan pada salah satu
indikator, karena dalam pembangunan berkelanjutan setiap memiliki peran
masing-masing yang saling berhubungan.
KESIMPULAN
Pembangunan
berkelanjutan tidak mudah, meski demikian bukan
berarti tidak dapat dilakukan. Dalam
pelaksanaannya
banyak hal yang perlu diperhatikan dan saling berkaitan. Makalah ini mencoba menggambarkan hubungan antara indikator persen penduduk di bawah garis kemiskinan, lahan subur dan permanen,
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan
nasional.
Pengentasan kemiskinan merupakan upaya untuk menurunkan angka persen
penduduk di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan langkah awal yang harus
dilakukan agar pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan, karena kemiskinan
ini berhubungan dengan indikator pembangunan berkelanjutan lainnya yaitu luas
lahan subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi
pembangunan berkelanjutan nasional yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono,
Anton. 2008. Cukupkah Lahan Budidaya perikanan Kita. Di unduh tanggal 29
November 2009 Dari http://belida.unmul.ac.id/index.php? Itemid=2&id=81&option=com_content&task=view
Dewan Redaksi. 2009. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia. Buletin Tata Ruang Online. Diunduh tanggal 10 Oktober 2009 Dari
http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=123
Direktorat Kelautan dan Perikanan BAPPENAS. Tanpa tahun Di
unduh Tanggal 25 November 2009 Dari http___www.bappenas.go.id_get-file-server
_node_8201_
Penyusutan Sumber Daya Alam Di unduh Tanggal 28 November
2009 Dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/09/05/0000.html
Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2005. Catatan
Komunitas Indonesia: AGENDA 21 INDONESIA Di unduh tanggal 27 November 2009 Dari
http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=77300532585
No comments:
Post a Comment