Saturday, July 9, 2022

BUDIDAYA BERKELANJUTAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN




PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987).  Menurut Emil Salim (1990) dalam Jaya (2004) pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang.
Pembangunan berkelanjutan  terdiri dari pilar (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi fokus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Ketiga pilar itu harus menjadi bahan pertimbangan dalam setiap kegiatan pembangunan berkelanjutan. Apabila ketiga pilar ini dilaksanakan  secara menyeluruh maka tujuan pembangunan berkelanjutan akan tercapai.
Dalam perkembangannya semakin disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan pilar lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial. Lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Pengentasan kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik.  Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Sarosa dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat (Dewan Redaksi, 2009) .
Pembangunan berkelanjutan adalah sebagai upaya manusia untuk memperbaiki mutu kehidupan dengan tetap berusaha tidak melampaui ekosistem yang mendukung kehidupannya. Dewasa ini masalah pembangunan berkelanjutan telah dijadikan sebagai isu penting yang perlu terus di sosialisasikan ditengah masyarakat (Jaya, 2004). Hal ini dilakukan dengan harapan setiap orang dapat memahami dan berperan dalam upaya implementasi pembangunan berkelanjutan.

Maksud Dan Tujuan
            Maksud penulisan makalah ini adalah untuk menyajikan keterkaitan antara aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Adapun indikator yang dibahas untuk masing-masing aspek secara berurutan adalah persen penduduk di bawah garis kemiskinan, luas lahan subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan nasional.
            Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sebagai upaya menurunkan angka persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Dalam pelaksanaanya, pengentasan kemiskinan ini terkait dan saling mempengaruhi dengan indikator lain yaitu luas lahan budidaya perikanan subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan nasional.

PEMBAHASAN
Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan harus senantiasa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan mengingat semuanya itu saling terkait satu sama lain serta saling mendukung. Apabila kita mengabaikan salah satu pilar maka tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut niscaya tidak akan tercapai.
Sosok final dari konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum terlihat jelas. Namun proses menuju pelaksanaan pembangunan berkelanjutan meliputi tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik telah dilaksanakan sejak didirikannya kelembagaan lingkungan hidup pada tahun 1978. Elemen-elemennya antara lain:
1.      Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi, ke arah pengurangan penggunaan energi fosil dan makin dominannya penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan.
2.      Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sampai ke tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan sumber daya alam dan dapat terlayani baik oleh fasilitas publik di bidang kesejahteraan rakyat.
3.      Kebijakan spatial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur fisik yang memadai, sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di perairan untuk konservasi sumber daya alam.
4.      Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat, bersih dan sehat, sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin dengan menghindarkan pemborosan energi, material dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5.      Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air bersih, udara bersih, sumber-sumber makanan dan pencegahan bencana.
6.      Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan dan lainnya untuk menunjang hal-hal di atas.
Usaha untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan disertai upaya pelestarian lingkungan hidup melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu fokus pembangunan nasional dewasa ini. Melalui pembangunan berkelanjutan, diharapkan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup dapat berjalan secara harmonis dan terpadu (Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas).
Dalam pembangunan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan masih menjadi tantangan besar bagi pembuat keputusan kebijakan. Lebih jauh lagi, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan  maka sebuah sudut pandang yang integratif harus sekaligus memperhitungkan isu-isu pembangunan, penggunaan sumber daya dan kualitas lingkungan, dan kesejahteraan manusia.
Kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan hanya kalangan publik yang cukup makmur yang mampu mengatasi problem lingkungan (Irza, 2009). Keterbatasan lapangan kerja dan  daya dukung lingkungan mengakibatkan tumbuhnya kemiskinan. Tansisi demografi yang terjadi di dunia ketiga menyebabkan terjadinya urbanisasi secara besar-besaran. Fenomena tersebut dapat ditemukan di kota-kota besar di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Jumlah penduduk yang sangat berbeda jauh antara kota besar dengan kota kecil.
Berdasarkan hal di atas, kemiskinan menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan dari pembangunan berkelanjutan. Mengingat hanya kalangan publik yang cukup mampu yang bisa menghindar dari problem lingkungan. Misalnya mereka dapat memilih bahan pangan organik, produk ramah lingkungan, dan penggunaan energi alternatif. Ini disebabkan produk-produk tersebut masih tergolong mahal sehingga hanya masyarakat mampu yang dapat membelinya.
Agenda 21 Indonesia sebagai Strategi Pembagunan Berkelanjutan Nasional Indonesia, memuat agenda pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan prinsip-prinsip sosial ekonomi pembangunan berkelanjutan. Agenda pelayanan masyarakat yang ditetapkan sebagai agenda pertama dan ini menyiratkan bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memang diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi, tanpa mengabaikan dimensi lain. Salah satu sub-agenda pelayanan masyarakat adalah pengentasan kemiskinan.
Melalui pengentasan kemiskinan diharapkan persen penduduk di bawah garis kemiskinan akan terus berkurang. Keberhasilan pengentasan kemiskinan akan berpengaruh terhadap luas lahan budidaya perikanan subur dan permanen, serta PDB yang dihasilkan. Kesemuanya itu akan lebih terarah dengan adanya strategi pembangunan berkelanjutan.
.
Pilar Sosial : Persen Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan
Persen Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan didefinisikan sebagai proporsi penduduk dengan standar hidup di bawah garis kemiskinan. Ini diperlukan untuk penilaian secara keseluruhan kemajuan suatu negara dalam pengentasan kemiskinan dan/atau evaluasi kebijakan/proyek tertentu. Garis kemiskinan ini merupakan batas pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal kalori yang diperlukan tubuh untuk beraktivitas, ditambah dengan kebutuhan non-makanan (perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transpor dan kebutuhan pokok lainnya).
Penduduk di bawah garis kemiskinan dikenal juga dengan istilah prasejahtera yang artinya penduduk yang hidup di bawah standar hidup layak. Metode yang digunakan untuk mengukur standar kehidupan individu adalah  konsumsi per setara pria dewasa dan Undernutrition. Ada beberapa pendekatan untuk menentukan garis kemiskinan yaitu :
-          Garis kemiskinan absolut : garis kemiskinan dalam kaitannya dengan indikator standar hidup yang digunakan (konsumsi, nutrisi). Relevan untuk negara-negara berpenghasilan rendah. Pengukuran garis kemiskinan absolut sangat penting jika orang mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek (misalnya pemberian kredit skala kecil) terhadap kemiskinan.
-          Garis kemiskinan relatif : garis kemiskinan akan cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Relevan untuk negara-negara berpenghasilan tinggi.
Kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan hanya kalangan publik yang cukup makmur yang mampu mengatasi problem lingkungan. Kemiskinan mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan. Mereka yang tidak mampu membeli lahan akan  menggunakan kawasan yang berfungsi lindung untuk dijadikan lahan budidaya perikanan atau untuk membangun tempat tinggal. Kawasan lindung yang dimaksud antara lain bantaran sungai, hutan kota, rawa, dan lain-lain. Sehingga para pakar lingkungan di negara maju menilai bahwa penurunan daya dukung lingkungan yang terjadi di dunia disebabkan oleh fenomena kemiskinan yang tidak kunjung berakhir di negara berkembang.
Penentuan garis kemiskinan ini selain dilihat dari kemampuan memenuhi kebutuhan minimal kalori juga kemampuan memenuhi kebutuhan non-makanan misalnya pendidikan dan kesehatan. Penduduk di bawah garis kemiskinan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, ini sangat berpengaruh terhadap SDM. Seperti kita ketahui SDM merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi, dengan demikian secara langsung atau pun tidak langsung persen penduduk di bawah garis kemiskinan mempengaruhi pencapain PDB.
Dengan demikian, maka persen penduduk di bawah garis kemiskinan perlu terus diturunkan karena  indikator ini akan mempengaruhi kualitas lingkungan,  dan PDB. Ini sesuai dengan strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang menempatkan pengentasan kemiskinan sebagai sub-agenda pertama yang artinya bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memang diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi tetapi tidak mengabaikan dimensi lain.


Pilar Lingkungan : Area Lahan Budidaya perikanan
Indikator ini menunjukan jumlah lahan yang tersedia untuk kegiatan produksi budidaya perikanan . Tanah yang ditinggalkan peladang berpindah tidak termasuk dalam kategori ini. Data untuk tanah subur tidak dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah lahan yang berpotensi ditanami. Lahan di bawah tanaman permanen adalah tanah ditanami dengan tanaman yang menempati tanah untuk waktu yang lama dan tidak perlu ditanam kembali setelah setiap panen tetapi tidak termasuk tanah di bawah tegakan kayu. Data ini terkait dengan data lain seperti populasi, total lahan, penggunaan pupuk, dan pestisida yang digunakan.
Meningkatnya kepadatan penduduk di pedesaan mengakibatkan berkurangnya lahan budidaya perikanan. Petani kecil dipaksa untuk memperluas lahan budidaya ke daerah-daerah baru, yang labil dan tidak cocok untuk budidaya. Intensifikasi tanaman, dilakukan agar dapat mengurangi tekanan pada tanah-tanah baru budidaya tetapi mengadopsi praktek-praktek budidaya perikanan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup (seperti penggunaan bahan kimia) agar mencapai hasil panen yang lebih banyak.
Penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan terkonsentrasi di Jawa mendorong laju alih fungsi lahan semakin tinggi dan Jawa menjadi tereksploitasi berlebihan yang tercermin dari luas pemilikan lahan rata-rata yang terus menciut. Di Jawa luas kepemilikan hanya 0,3 hektar per KK dan sementara di luar Jawa hanya 1 hektar. Padahal, kita tahu, menurut hasil analisis ekonomi sederhana, luas kepemilikan lahan yang ekonomis minimal 2 hektar di Jawa dan lebih dari 10 hektar untuk luar Jawa (Apriantono,2008).
Indonesia sebagai negara agraris menempatkan budidaya perikanan penyumbang PDB yang cukup besar. Maka dari itu apabila lahan budidaya perikanan terus berkurang, besar kemungkinan PDB yang dihasilkan juga akan menurun. Selain berdampak pada PDB, berkurangnya lahan budidaya perikanan juga berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk baik langsung maupun tidak langsung.
Secara umum penduduk yang terlibat di sektor budidaya perikanan dapat dibedakan menjadi petani usaha dan petani buruh. Petani usaha mengandalkan pendapatannya dari hasil budidaya perikanan yang dijualnya sedangkan buruh tani mengandalkan pendapatannya dari upah yang dibayar oleh petani usaha. Dalam hubungan ini terlihat bahwa petani usaha memiliki resiko atas apa yang diusahakannya sedangkan buruh tani tidak memiliki resiko. Dalam hal pendapatan, petani usaha memiliki pendapatan yang fluktuatif sesuai hasil dan harga yang diterimanya, sedangkan buruh tani cenderung stabil pada kisaran angka tertentu. Pendapatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu hasil budidaya perikanannya dan harga atas hasil budidaya perikanannya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan budidaya perikanan berpengaruh terhadap PDB, kesejahteraan penduduk, dan lingkungan. Maka dari itu untuk menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan perlu adanya strategi nasional yang menjamin kepastian luas lahan budidaya perikanan agar sektor budidaya perikanan dapat terus perperan dalam PDB, kesejahteraan penduduk, dan kelestarian lingkungan.

Pilar Ekonomi : Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita
PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak (wikipedia).
            Relevansi PDB dengan pembangunan berkelanjutan, dengan mengalokasikan total produksi untuk setiap unit populasi akan diketahui sejauh mana tingkat output individu memberikan kontribusi untuk proses pembangunan dapat diukur. Hal ini mengindikasikan laju pertumbuhan pendapatan per kapita dan juga tingkat sumber daya yang digunakan. Sebagai kondisi yang diperlukan untuk menjadi indikator kinerja ekonomi utama pembangunan berkelanjutan, salah satu yang sering dikutip keterbatasan dari PDB adalah bahwa ia tidak memperhitungkan lingkungan sosial dan biaya produksi.
Sebagai contoh, pada bidang kehutanan nilai PDB hanya menunjukkan kontribusi produk kehutanan yang dipasarkan. Nilai penurunan kesejahteraan masyarakat akibat berkurangnya luas hutan tidak mampu direpresentasikan oleh PDB. Meningkatnya kemungkinan masyarakat tertimpa banjir akibat pepohonan berkurang atau berkurangnya sumber daya hayati yang dimiliki hutan tidak terjelaskan dalam PDB.
Usaha untuk memasukkan unsur lingkungan dalam perhitungan PDB telah dirintis sejak tahun 1995, namun masih ada beberapa hambatan dalam penerapannya, antara lain:
1. Belum ada ketentuan yang mengatur implementasi PDB Hijau dalam skala nasional. Sampai dengan saat ini PDRB Hijau masih dalam taraf kajian, belum menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas pembangunan sektoral;
2. Keterbatasan metodologi dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan.
Indikator yang selama ini digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan lebih ditekankan pada besaran pendapatan per kapita penduduk. Salah satu indikator umum yang lazim digunakan adalah angka PDB per jumlah penduduk. Apabila ukuran tersebut dipakai untuk mengukur perkembangan ekonomi jangka panjang, cakupan komponen perhitungan PDB tersebut harus diperluas dengan memperhitungkan adanya tingkat penipisan (deplisi) sumber daya alam dan degradasi lingkungan (Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas). Dalam penggunaan PDB sebagai indikator pembangunan berkelanjutan, PBB bekerja sama dengan Bank Dunia, Masyarakat Eropa, IMF, dan OECD telah mengembangkan konsep perhitungan PDB yang memperhitungkan faktor lingkungan yang disebut System for Integrated Environment and Economic Accounting.
Pembangunan yang optimal dan berkelanjutan ditandai dengan PDB yang tinggi serta deplesi SDA dan degradasi lingkungan yang rendah. PDB Hijau memberikan beberapa manfaat dalam penentuan kebijakan pembangunan, yaitu :  
a) Menghindari bias perhitungan penilaian kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah (struktur perekonomian lebih realistis);
b) Mengontrol eksploitasi SDA dan kerusakan lingkungan;
c) Sebagai masukan dalam penentuan besar pungutan/ganti rugi kerusakan lingkungan;
d) Menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola kelestarian lingkungan.
            Target nasional pada umumnya berorientasi pada prioritas ketersediaan sumber daya alam dan kinerja ekonomi dalam hal ini PDB yang dihasilkan. PDB sebagai indikator pembangunan berkelanjutan berhubungan dengan indikator lainnya antara lain persen penduduk di bawah garis kemiskinan, ketersediaan lahan subur dan permanen, serta strategi pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan.

Pilar Kelembagaan : Strategi Pembangunan Berkelanjutan Nasional
Strategi Pembangunan berkelanjutan nasional bertujuan untuk membangun dan menyelaraskan berbagai sektor ekonomi, sosial, dan kebijakan lingkungan dan rencana yang ada di suatu negara untuk memastikan tanggung jawab sosial pembangunan sekaligus melindungi sumber daya alam untuk kepentingan generasi mendatang. Di Indonesia, hal ini diwujudkan dalam Agenda 21 Indonesia yang dikeluarkan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 
Tahun 1997 UNDP telah mendukung pengembangan dan peluncuran Agenda 21 Indonesia – versi lokal dari Agenda 21 Global yang diluncurkan dalam KTT Rio. Agenda 21 mendiskusikan ketergantungan pembangunan sosial dan ekonomi pada kelestarian lingkungan dan meletakkan dasar untuk pengesahan Perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Setelah KTT Johannesburg yang mengkaji ulang Agenda 21 Global, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dengan bantuan UNDP, telah melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks pembangunan berkelanjutan setelah krisis ekonomi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kini meletakkan dasar untuk merancang strategi jangka panjang menuju pencapaian tujuan-tujuan Agenda 21.
Agenda Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan prinsip-prinsip sosial ekonomi pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, agenda pelayanan masyarakat yang ditetapkan sebagai agenda pertama dan ini menyiratkan bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia memang diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi, tanpa mengabaikan dimensi lain. Enam sub-agenda dirumuskan dalam agenda pelayanan masyarakat di Indonesia , yaitu :
1)        Pengentasan kemiskinan. Penting dicatat di sini bahwa pendidikan, yang merupakan bagian dari proses pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan, sangat ditekankan dalam dokumen Agenda 21 Indonesia. Berbagai upaya pengelolaan lingkungan akan kurang efektip dilakukan apabila sebagian besar masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan, sementara upaya-upaya pelibatan masyarakat dalam berbagai opsi pengelolaan lingkungan juga tidak akan efektip tanpa meningkatkan pendidikan dasar masyarakat.
2)        Perubahan pola produksi dan konsumsi. Aspek ini dipandang perlu mendapat perhatian para pengelola lingkungan di Indonesia, karena akan menjadi dasar pijak bagi berbagai proyeksi persoalan lingkungan di Indonesia. Sebagaimana data-data empirik telah menunjukkan pola perubahan konsumsi masyarakat Indonesia mengindikasikan bahwa proses-proses produksi dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia akan semakin meningkat. Upaya-upaya pengelolaan lingkungan harus menyadari bahwa setiap perubahan pola konsumsi akan membawa implikasi yang luas bagi lingkungan.
3)        Dinamika kependudukan. Ini menjelaskan bahwa di samping jumlah absolutnya yang tetap tinggi, persoalan kependudukan di Indonesia meliputi pula persebaran serta kualitas penduduk sebagai sumberdaya manusia Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia harus melihat bahwa pola persebaran yang tidak merata ini membawa baik dampak positip maupun negatif terhadap lingkungan. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia secara keseluruhan agar berbagai opsi pengelolaan lingkungan akan menjadi efektif.
4)        Pengelolaan dan peningkatan kesehatan (berhubungan dengan dinamika penduduk). Subagenda ini menekankan pentingnya upaya-upaya seperti pembangunan kesehatan dasar khususnya bagi kelompok rentan, pengendalian penyakit menular, serta pembangunan kesehatan perkotaan dan pengendalian pencemaran lingkungan.
5)        Pengembangan perumahan dan pemukiman. Fokus agenda ini menyangkut baik persoalan kuantitatip, yakni jumlah kebutuhan rumah, maupun persoalan kualitatip dalam arti kondisi lingkungan perumahan. Pengelolaan lingkungan hidup harus melihat persoalan ini secara seksama oleh karena implikasi langsungnya terhadap kualitas kesehatan masyarakat.
6)        Sistem terpadu antara perdagangan global, instrumen ekonomi, serta neraca ekonomi dan lingkungan. Aspek ini dipandang perlu dalam strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, oleh karena proses gobalisasi yang terjadi tidak saja mempercepat proses-proses perubahan dan perusakan lingkungan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pengelolaan lingkungan di Indonesia harus secara jeli melihat peluang-peluang yang diberikan dalam proses globalisasi untuk kepentingan lingkungan.
Strategi pembangunan berkelanjutan nasional penting untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilaksanakan, karena akan sangat mempengaruhi keberhasilan pencapaian target dari setiap pilar. Dalam hal ini strategi yang baik adalah strategi yang tidak menitikberatkan pada salah satu aspek atau bahkan pada salah satu indikator, karena dalam pembangunan berkelanjutan setiap memiliki peran masing-masing yang saling berhubungan.


 KESIMPULAN
Pembangunan berkelanjutan tidak mudah, meski demikian bukan berarti tidak dapat dilakukan. Dalam pelaksanaannya banyak hal yang perlu diperhatikan dan saling berkaitan. Makalah ini mencoba menggambarkan hubungan antara indikator persen penduduk di bawah garis kemiskinan, lahan subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan nasional.
Pengentasan kemiskinan merupakan upaya untuk menurunkan angka persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan agar pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan, karena kemiskinan ini berhubungan dengan indikator pembangunan berkelanjutan lainnya yaitu luas lahan subur dan permanen, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, dan strategi pembangunan berkelanjutan nasional yang ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton. 2008. Cukupkah Lahan Budidaya perikanan Kita. Di unduh tanggal 29 November 2009 Dari http://belida.unmul.ac.id/index.php? Itemid=2&id=81&option=com_content&task=view
Dewan Redaksi. 2009. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Buletin Tata Ruang Online. Diunduh tanggal 10 Oktober 2009 Dari http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=123
Direktorat Kelautan dan Perikanan BAPPENAS. Tanpa tahun Di unduh Tanggal 25 November 2009 Dari http___www.bappenas.go.id_get-file-server _node_8201_
Penyusutan Sumber Daya Alam Di unduh Tanggal 28 November 2009 Dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/09/05/0000.html
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2005. Catatan Komunitas Indonesia: AGENDA 21 INDONESIA Di unduh tanggal 27 November 2009 Dari http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=77300532585

No comments:

Post a Comment